Rabu, 10 Juni 2009

Abu Nawas dan Korupsi

ABU Nawas, tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair, yang hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M), suatu hari diminta khalifah datang ke istana untuk membantu memecahkan masalah pelik yang sedang dihadapi sang raja. Rumors yang beredar, banyak para menteri yang terlibat melakukan praktik korupsi. Loyalitas mereka kepada sang raja dilatarbelakangi kepentingan ekonomi. Sultan resah, dan tidak mau kerajaan yang dipimpinnya dihuni para pembantu yang mengincar uang negara. Ia juga tidak ingin dikelilingi para pembantu yang bermental khianat.Pada hari yang sudah ditentukan, datanglah Abu Nawas menghadap sang raja. Namun ketika berada dipintu gerbang kerjaan, ia dicegat oleh penjaga. “Mau kemana?’ tanya penjaga dengan seram. “Menghadap Sultan,” jawab Abu Nawas. “Tidak bisa! Sultan sedang sibuk,”jawab penjaga ketus. “Tolong carikan jalannya, pokoknya tahu beres.” “Ada, ada, jalan selalu ada,” sahut sang penjaga dengan mata berkilat-kilat gembira, “Asalkan engkau ada kebijaksanaan kepadaku.” “Oh, soal itu jangan khawatir, saya datang mau minta hadiah dari Sultan,” kata Abu Nawas. “Nah, itulah maksudku, asal tahu sama tahu,”sambung penjaga dengan cepat dan gembira. “Aku sudah cukup kaya, dan hadiah itu akan aku berikan semua kepadamu,” balas Abu Nawas. Maka dengan sikap hormat sambil membungkuk, sang penjaga mempersilahkan Abu Nawas masuk. Di dalam istana, Sultan sedang mengadakan pertemuan dengan para menteri. Begitu menerima laporan bahwa Abu Nawas datang, Sultan tampak gembira. Karena memang dia sudah menunggunya. “Masih tetapkah pendirianmu bahwa engkau bisa mengatasi kesulitan negara kita ini?” tanya Sultan. “Ya,” tegas Abu Nawas.“Berani engkau menerima hukuman mati jika gagal?” “Pantang saya menelan ludah kembali,”jawab Abu Nawas. “Dan apa permintaanmu kalau berhasil?” tanya Sultan. “Saya minta hukuman cambuk sepuluh kali,” jawab Abu Nawas dengan tegas. “Hukuman cambuk?” Sultan keheranan. “Betul, tapi bukan untuk saya. Melainkan untuk penjaga pintu gerbang istana, tuanku.” Abu Nawas lalu menceritakan tentang kelakukan penjaga pintu. Sultan murka mendengarnya dan mengangguk-angguk tentang permintaan Abu Nawas. Sultan kemudian memerintahkan para dayang istana menukar pakaian Abu Nawas yang sudah usang sebelum mengikuti persidangan dengan para menterinya.Ketika Abu Nawas muncul dengan pakaian bersih dan baru, Sultan heran. Sebab peci yang dipakai Abu Nawas masih tetap peci yang buruk dan warnanya sudah tidak keruan. “Mengapa pecimu tidak kau tukar, Abu Nawas?” tanya Sultan. “Maaf, ini peci wasiat. Kita bisa melihat bayangan surga di dalamnya,” jawab Abu Nawas. “Betulkah itu? Awas kalau bohong,” hardik Sultan. Betul, tuan. Cuma ada syaratnya. Hanya orang-orang jujur yang tidak pernah mencuri uang negara yang bisa melihat surga di dalamnya. Orang-orang curang, para pengkhianat pasti tidak akan melihat apa-apa.”Sultan berbisik-bisik, akhirnya dia berkata, “Hai Menteri Abbas, kau kukenal jujur. Ambil peci Abu Nawas, dan coba buktikan. Nampakkah surga itu?’ Menteri Abbas gemetar. Selama ini telah banyak uang negara yang ia makan. Dia takut ketahuan belangnya. Maka dengan muka pucat diambilnya peci Abu Nawas yang lusuh itu. Betapa bau dan bukan main busuknya. Ditambah penuh daki dan noda-noda keringat. Tidak ada apa-apa di situ. Apalagi bayangan surga, bayangan neraka juga tidak ada. “Bagaimana Menteri Abbas?” tanya Sultan. Sang menteri ketakutan. Sebenarnya dia memang tidak melihat apa-apa. Akan tetapi kalau dijawab apa adanya, dia takut Sultan mengetahui kecurangannya selama ini. Maka dia menjawab terpatah-patah, “Hebat, hebat. Surga yang indah. Bidadari berlari-lari ke sana-kemari.” Sultan merasa takjub. Dia kemudian memerintahkan Menteri Harun untuk melihatnya.Menteri Harun pun begitu pula. Sudah dibolak-balik peci itu, namun hanya bau busuk yang menusuk hidung. Tetapi jika menceritakan yang sebenarnya, dia khawatir Sultan marah mengetahui ketidakjujurannya. Padahal Menteri Abbas bisa melihat surga itu. Jadi diapun menjawab dengan pura-pura kagum, “Masya Allah, jannatun na’im, jannatul firdaus. Betul-betul tempat yang indah, rindang, mata air susu mengalir dimana-mana,” kata Menteri Harun sambil menggeleng-gelengkan kepala. Para menteri lainnya juga berlaku sama. Sultan makin heran. Oleh karena sangat ingin melihat sendiri buktinya, cepat-cepat peci itu diambil dan diperhatikannya dengan saksama. Sultan malah tidak mengerti. Menteri-menterinya semua melihat surga itu, sedangkan dia merasa tidak pernah makan uang negara secara tidak halal. Mengapa dia tidak melihat apa-apa dalam peci Abu Nawas? Yang ada dia terbersin-bersin mencium bau peci itu.“Hai, Abu Nawas,” hardik Sultan. “Para menteriku semuanya melihat surga dan isinya dalam pecimu itu. Tapi aku sendiri tidak melihat apa-apa kecuali bekas-bekas keringatmu. Jadi mereka jujur, dan akulah yang pengkhianat?” Abu Nawas bangkit dari duduknya dan dengan tajam para menteri ditatapnya seorang demi seorang. Lalu Abu Nawas berkata, “ Wahai Sultan yang adil dan bijaksana. Pantaslah negeri ini kacau dan terus melarat karena menteri-menteri ini semua penjilat dan penipu. Mereka mengatakan melihat surga dalam peci saya karena mereka merasa bersalah dan telah mengkhianati kepercayaan Sultan. Mereka takut pada bayangan sendiri, bayangan kepalsuan dan keculasan mereka.” Demi mendengar penjelas Abu Nawas, Sultan terdiam dan mengangguk pertanda menerimanya.Ia kemudian memberikan hadiah kepada Abu Nawas berupa hukuman cambuk sepuluh kali dan ditimpakan kepada penjaga pintu gerbang istana, yang suka minta uang suap itu. Sementara, semua menteri yang tidak jujur itu langsung dipecat dan dihukum setimpal. Lalu dipilihlah menteri-menteri baru yang betul-betul mempunyai itikad murni berbakti kepada negara. (Kisah-kisah Islam Anti Korupsi, 2009)Menciptakan pemerintahan yang bersih, birokrasi yang kuat dan amanah, tidak cukup dengan ketersediaan instrumen hukum. Tetapi bagaimana seluruh instrumen itu berbunyi secara bermartabat dan berkeadilan. Tidak diskriminasi terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun dengan status sosial apapun juga. Inilah problem mendesak dialami bangsa yang hampir sempoyongan ini. Komitmen dan kemauan politik pemerintah masih sangat rendah. Penegakan hukum bagi pelaku korupsi berjalan lamban. Aparat penegak hukum melakukan tebang pilih dalam menyelesaikan kasus yang ada. Dukungan politik dari elit politik yang duduk di lembaga dewan, sangat rendah. Bahkan sebuah survey yang dilakukan Barometer Korupsi Global (BKG) menempatkan lembaga DPR RI sebagai yang terkorup, disusul lembaga peradilan dan partai politik, pabriknya para politisi yang ada di gedung dewan tersebut.Khalifah Harun Al-Rasyid menyadari betul, betapa kemauan politik yang kuat menjadi syarat wajib menyelematkan bangsanya dari kehancuran. Karena itu, tidak ada tawar menawar baginya terhadap kesalahan dan pengkhiatan yang dilakukan oleh para pembantunya dan pegawai kerajaan. Hukum harus ditegakkan demi keadilan dan harga diri bangsanya. Di atas semua itu, kekayaan negara harus dilindungi dan selamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Andai saja Abu Nawas hidup dan tinggal di nusantara ini, rasanya tidaklah perlu baginya untuk membutkikan seberapa parah penyakit korupsi merasuki tubuh birokrasi pemerintahan ini. Apalagi dengan meminta mereka melihat surga di dalam pecinya yang lusuh dan bau tersebut. Sebab tanpa itu semua, sebetulnya Abu Nawas sudah bisa mencium dari kejauhan bau badan para koruptor yang baunya jauh lebih busuk dari pecinya sendiri. Dan jika Sultan Harun Al Rasyid yang memimpin bangsa ini, Indonesia akan menjadi negeri dengan beribu-ribu kesejhateraan. Alih-alih, semangat Sultan pun tidak ada dinegeri ini. Fastabiqu al khairat.

Tidak ada komentar: