Senin, 03 Agustus 2009

BPK Mulai Audit Anggaran Pemilu

JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai melakukan audit Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait anggaran penyelenggaraan pemilu tahun 2009.

"BPK di sini itu karena ada pemeriksaan, audit anggaran. Biasa, setiap tahun, pada bulan-bulan seperti ini kan setiap departemen diaudit," kata Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, di Kantor KPU, Jakarta, Senin (3/8).

Menurut Hafiz, audit anggaran KPU dilakukan selama 40 hari ke depan, termasuk untuk KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi. Adapun tim yang mengaudit laporan keuangan KPU berjumlah sekitar 60 orang. Saat ini, audit tengah berlangsung dan dilakukan secara tertutup di ruang rapat lantai 1, Gedung KPU, Jakarta.

Rabu, 15 Juli 2009

BPK 15 Negara Berkumpul Bahas Pencucian Uang dan Korupsi

Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan Rl menjadi tuan rumah pertemuan ke-3 lntemational Organization of Supreme Audit lnstitutions (INTOSAI) Working Group on Fight Against lntemational Money Laundering and Corruption (WG on FAIMLAC), pada 15-16 Juli 2009.

Acara ini merupakan kelanjutan dari pertemuan ke-2 INTOSAI WG an FAIMLAC di Kairo, Mesir, tahun lalu. Pertemuan itu membahas pencegahan, pemberantasan, serta penegakan hukum dalam upaya melawan pencucian uang lntemasional dan korupsi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang dan negara maju saat ini.

Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan lembaga pemeriksa dar1 15 negara, yaitu Colombia, Equador, Jerman, lndonesia, Lesotho, Mesir, Mexico, UK, USA, Peru, Papua New Guinea, dan Rusia, serta 3 negara yang bertindak sebagai observer, yaitu Malaysia, lrak, dan Polandia.

Pertemuan dipimpin oleh Ketua BPK Rl, Anwar Nasution, dan Ketua BPK Mesir yang sekaligus menjabat Ketua WG on FAIMLAC, Mohammed Gawdat Ahmed EI-Malt.

Anwar mengatakan, pertemuan ini untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan metodologi untuk meningkatkan pandangan terhadap dana sektor publik dan entitas sebagai bagian dari upaya memerangi pencucian uang internasional dan korupsi.

"Pemberantasan pencucian uang dan korupsi memerlukan strategi yang tepat oleh masing-masing negara. Hal ini diyakini terkait dengan penyebaran pemahaman tentang pencucian uang dan korupsi sebagai musuh bersama dan bagian dan kompleksitas kejahatan transnasional," katanya di JW Marriot, Jakarta, Rabu (15/7/2009).

Ia mengatakan, peran setiap lembaga pemeriksa untuk melawan pencucian uang dan korupsi tergantung pada mandat audit serta tanggung jawab masing-masing lembaga.

Menurutnya, sudah menjadi wewenang setiap lembaga untuk menemukan langkah dan strategi yang tepat dalam memerangi pencucian uang dan korupsi disesuaikan dengan mandatnya masing-masing.
Sesuai mandatnya, lembaga pemeriksa memiliki peran penting dalam melakukan pemeriksaan atas sektor publik dan melakukan pendalaman atas dugaan penyimpangan keuangan negara juga memberi saran pada pembangunan sistem keuangan negara.

Juga melaporkan kepada pihak berwenang apabila mendeteksi adanya tindak pencucian uang, dugaan korupsi dan penyimpangan keuangan negara pada saat pemeriksaan, memberi saran kepada pemenntah untuk mengintegrasikan pendanaan, pelatihan, dan bantuan teknis guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia untuk memerangi teroris keuangan.

Selain itu, lembaga pemeriksa keuangan juga harus bisa memberi saran pada masalah kebijakan dan peraturan mengenai anti pencucian uang dan korupsi serta penyimpangan keuangan negara dan ambil bagian dalam peningkatan kesadaran dan inisiatif pelatihan berdasarkan standar internasional dan praktik-praktik terbaik.

Badan Pemeriksa Keuangan Rl mengambil enam bentuk inisiatif untuk mempercepat reformasi fiskal sebagai langkah strategis melawan korupsi di lndonesia, yaitu pertama, mewajibkan semua terperiksa menyerahkan Management Representative Letter.

Kedua, mendorong perwujudan sistem pembukuan keuangan negara yang terpadu. Ketiga, meminta terperiksa untuk menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini atas laporan keuangan. Rencana aksi itu meliputi perbaikan sistem keuangan negara, teknologi informasi, dan sumber daya manusia pengelola keuangan negara.

Keempaat, menyarankan kepada pemerintah untukmenggunakan tenaga kerja yang berpendidikan akuntansi guna mengatasi kelangkaan SDM.

Kelima, mendorong perombakan struktural Badan Layanan Umum, BUMN dan BUMD agar lebih mandiri dan korporatis, dan keenam, menyarankan kepada lembaga perwakilan untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP).

Task Force on the FAIMLAC dibentuk oleh Governing Board INTOSAI pada Maret 2003 berdasarkan keputusan Kongres INTOSAI XVll di Seoul, Oktober 2001. Pada November 2007, Kongres INTOSAI menyetujui perubahan status Task Force menjadi Working Group,

Kelompok kerja ini memiliki tiga tujuan strategis, yaitu mempromosikan kerjasama internasional, baik antar sesama lembaga pemeriksa maupun dengan organisasi lainnya dalam rangka memerangi money laundering and corruption, identifikasi kebijakan dan strategi untuk memerangi money laundering and corruption dengan kompetensi dan tanggung jawab lembaga pemeriksa, serta mendesain dan mempromosikan kebijakan, strategi, dan aksi dalam bingkai kerja anti money laundering and corruption setiap lembaga pemeriksa.

(ang/lih)

Rabu, 10 Juni 2009

KPK: Kalau Periksa Medis Gratis Tak Ada Aturan, Itu Bisa Gratifikasi

Jakarta - Fasilitas medis gratis yang diterima pejabat instansi pemerintah bisa dikategorikan gratifikasi bila tak ada aturan yang menaunginya. Kalau tak ada, fasilitas itu bisa termasuk gratifikasi dan harus dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)."Kalau itu sudah diatur dalam suatu aturan, ya bukan. Seperti ada Permen (Peraturan Menteri) atau Perpres (Peraturan Presiden) instansinya bahwa pejabat ini mendapatkan fasilitas. Kalau tidak ada aturannya itu pemberian, ya bisa dianggap gratifikasi," ujar Wakil Ketua KPK M Jasin kepada detikcom, Rabu (10/6/2009).Jasin menyatakan hal itu saat ditanya tentang pengumuman medical check up dan papsmear gratis RS Omni International Alam Sutera untuk pegawai di lingkungan Kejari Tangerang. Kegiatan periksa medis tanpa bayar ini dilakukan 18 Mei.Jasin mencontohkan, seperti adanya ketentuan walikota, gubernur atau menteri bahwa untuk pejabat bereselon 1 atau 2 mendapatkan fasilitas tertentu, seperti kesehatan atau mobil dinas. Dan ketentuan itu harus sepengetahuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)."Ini harus disetujui anggota DPR karena yang memantau pelaksanaan dari kebijakan. Kalau di daerah ya DPRD, di pusat ya DPR. Karena DPR yang punya fungsi pengawasan, perundang-undangan dan fungsi anggaran," imbuhnya.Jika tidak ada aturan, tidak sepengetahuan atau tidak dengan persetujuan anggota Dewan, plus berlawanan dengan kewajibannya sebagai pejabat instansi publik, maka bisa dikategorikan gratifikasi."Di eksekutif, baik Kejaksaan atau di mana pun juga instansinya harus sepengetahuan DPR. Kalau hanya di lingkungan terbatas tertentu dan tidak ada aturan, ada indikasi bertentangan dengan kewajiban maka itu gratifikasi. Dan harus dilaporkan pada KPK," jelas Jasin.

Abu Nawas dan Korupsi

ABU Nawas, tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair, yang hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M), suatu hari diminta khalifah datang ke istana untuk membantu memecahkan masalah pelik yang sedang dihadapi sang raja. Rumors yang beredar, banyak para menteri yang terlibat melakukan praktik korupsi. Loyalitas mereka kepada sang raja dilatarbelakangi kepentingan ekonomi. Sultan resah, dan tidak mau kerajaan yang dipimpinnya dihuni para pembantu yang mengincar uang negara. Ia juga tidak ingin dikelilingi para pembantu yang bermental khianat.Pada hari yang sudah ditentukan, datanglah Abu Nawas menghadap sang raja. Namun ketika berada dipintu gerbang kerjaan, ia dicegat oleh penjaga. “Mau kemana?’ tanya penjaga dengan seram. “Menghadap Sultan,” jawab Abu Nawas. “Tidak bisa! Sultan sedang sibuk,”jawab penjaga ketus. “Tolong carikan jalannya, pokoknya tahu beres.” “Ada, ada, jalan selalu ada,” sahut sang penjaga dengan mata berkilat-kilat gembira, “Asalkan engkau ada kebijaksanaan kepadaku.” “Oh, soal itu jangan khawatir, saya datang mau minta hadiah dari Sultan,” kata Abu Nawas. “Nah, itulah maksudku, asal tahu sama tahu,”sambung penjaga dengan cepat dan gembira. “Aku sudah cukup kaya, dan hadiah itu akan aku berikan semua kepadamu,” balas Abu Nawas. Maka dengan sikap hormat sambil membungkuk, sang penjaga mempersilahkan Abu Nawas masuk. Di dalam istana, Sultan sedang mengadakan pertemuan dengan para menteri. Begitu menerima laporan bahwa Abu Nawas datang, Sultan tampak gembira. Karena memang dia sudah menunggunya. “Masih tetapkah pendirianmu bahwa engkau bisa mengatasi kesulitan negara kita ini?” tanya Sultan. “Ya,” tegas Abu Nawas.“Berani engkau menerima hukuman mati jika gagal?” “Pantang saya menelan ludah kembali,”jawab Abu Nawas. “Dan apa permintaanmu kalau berhasil?” tanya Sultan. “Saya minta hukuman cambuk sepuluh kali,” jawab Abu Nawas dengan tegas. “Hukuman cambuk?” Sultan keheranan. “Betul, tapi bukan untuk saya. Melainkan untuk penjaga pintu gerbang istana, tuanku.” Abu Nawas lalu menceritakan tentang kelakukan penjaga pintu. Sultan murka mendengarnya dan mengangguk-angguk tentang permintaan Abu Nawas. Sultan kemudian memerintahkan para dayang istana menukar pakaian Abu Nawas yang sudah usang sebelum mengikuti persidangan dengan para menterinya.Ketika Abu Nawas muncul dengan pakaian bersih dan baru, Sultan heran. Sebab peci yang dipakai Abu Nawas masih tetap peci yang buruk dan warnanya sudah tidak keruan. “Mengapa pecimu tidak kau tukar, Abu Nawas?” tanya Sultan. “Maaf, ini peci wasiat. Kita bisa melihat bayangan surga di dalamnya,” jawab Abu Nawas. “Betulkah itu? Awas kalau bohong,” hardik Sultan. Betul, tuan. Cuma ada syaratnya. Hanya orang-orang jujur yang tidak pernah mencuri uang negara yang bisa melihat surga di dalamnya. Orang-orang curang, para pengkhianat pasti tidak akan melihat apa-apa.”Sultan berbisik-bisik, akhirnya dia berkata, “Hai Menteri Abbas, kau kukenal jujur. Ambil peci Abu Nawas, dan coba buktikan. Nampakkah surga itu?’ Menteri Abbas gemetar. Selama ini telah banyak uang negara yang ia makan. Dia takut ketahuan belangnya. Maka dengan muka pucat diambilnya peci Abu Nawas yang lusuh itu. Betapa bau dan bukan main busuknya. Ditambah penuh daki dan noda-noda keringat. Tidak ada apa-apa di situ. Apalagi bayangan surga, bayangan neraka juga tidak ada. “Bagaimana Menteri Abbas?” tanya Sultan. Sang menteri ketakutan. Sebenarnya dia memang tidak melihat apa-apa. Akan tetapi kalau dijawab apa adanya, dia takut Sultan mengetahui kecurangannya selama ini. Maka dia menjawab terpatah-patah, “Hebat, hebat. Surga yang indah. Bidadari berlari-lari ke sana-kemari.” Sultan merasa takjub. Dia kemudian memerintahkan Menteri Harun untuk melihatnya.Menteri Harun pun begitu pula. Sudah dibolak-balik peci itu, namun hanya bau busuk yang menusuk hidung. Tetapi jika menceritakan yang sebenarnya, dia khawatir Sultan marah mengetahui ketidakjujurannya. Padahal Menteri Abbas bisa melihat surga itu. Jadi diapun menjawab dengan pura-pura kagum, “Masya Allah, jannatun na’im, jannatul firdaus. Betul-betul tempat yang indah, rindang, mata air susu mengalir dimana-mana,” kata Menteri Harun sambil menggeleng-gelengkan kepala. Para menteri lainnya juga berlaku sama. Sultan makin heran. Oleh karena sangat ingin melihat sendiri buktinya, cepat-cepat peci itu diambil dan diperhatikannya dengan saksama. Sultan malah tidak mengerti. Menteri-menterinya semua melihat surga itu, sedangkan dia merasa tidak pernah makan uang negara secara tidak halal. Mengapa dia tidak melihat apa-apa dalam peci Abu Nawas? Yang ada dia terbersin-bersin mencium bau peci itu.“Hai, Abu Nawas,” hardik Sultan. “Para menteriku semuanya melihat surga dan isinya dalam pecimu itu. Tapi aku sendiri tidak melihat apa-apa kecuali bekas-bekas keringatmu. Jadi mereka jujur, dan akulah yang pengkhianat?” Abu Nawas bangkit dari duduknya dan dengan tajam para menteri ditatapnya seorang demi seorang. Lalu Abu Nawas berkata, “ Wahai Sultan yang adil dan bijaksana. Pantaslah negeri ini kacau dan terus melarat karena menteri-menteri ini semua penjilat dan penipu. Mereka mengatakan melihat surga dalam peci saya karena mereka merasa bersalah dan telah mengkhianati kepercayaan Sultan. Mereka takut pada bayangan sendiri, bayangan kepalsuan dan keculasan mereka.” Demi mendengar penjelas Abu Nawas, Sultan terdiam dan mengangguk pertanda menerimanya.Ia kemudian memberikan hadiah kepada Abu Nawas berupa hukuman cambuk sepuluh kali dan ditimpakan kepada penjaga pintu gerbang istana, yang suka minta uang suap itu. Sementara, semua menteri yang tidak jujur itu langsung dipecat dan dihukum setimpal. Lalu dipilihlah menteri-menteri baru yang betul-betul mempunyai itikad murni berbakti kepada negara. (Kisah-kisah Islam Anti Korupsi, 2009)Menciptakan pemerintahan yang bersih, birokrasi yang kuat dan amanah, tidak cukup dengan ketersediaan instrumen hukum. Tetapi bagaimana seluruh instrumen itu berbunyi secara bermartabat dan berkeadilan. Tidak diskriminasi terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun dengan status sosial apapun juga. Inilah problem mendesak dialami bangsa yang hampir sempoyongan ini. Komitmen dan kemauan politik pemerintah masih sangat rendah. Penegakan hukum bagi pelaku korupsi berjalan lamban. Aparat penegak hukum melakukan tebang pilih dalam menyelesaikan kasus yang ada. Dukungan politik dari elit politik yang duduk di lembaga dewan, sangat rendah. Bahkan sebuah survey yang dilakukan Barometer Korupsi Global (BKG) menempatkan lembaga DPR RI sebagai yang terkorup, disusul lembaga peradilan dan partai politik, pabriknya para politisi yang ada di gedung dewan tersebut.Khalifah Harun Al-Rasyid menyadari betul, betapa kemauan politik yang kuat menjadi syarat wajib menyelematkan bangsanya dari kehancuran. Karena itu, tidak ada tawar menawar baginya terhadap kesalahan dan pengkhiatan yang dilakukan oleh para pembantunya dan pegawai kerajaan. Hukum harus ditegakkan demi keadilan dan harga diri bangsanya. Di atas semua itu, kekayaan negara harus dilindungi dan selamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Andai saja Abu Nawas hidup dan tinggal di nusantara ini, rasanya tidaklah perlu baginya untuk membutkikan seberapa parah penyakit korupsi merasuki tubuh birokrasi pemerintahan ini. Apalagi dengan meminta mereka melihat surga di dalam pecinya yang lusuh dan bau tersebut. Sebab tanpa itu semua, sebetulnya Abu Nawas sudah bisa mencium dari kejauhan bau badan para koruptor yang baunya jauh lebih busuk dari pecinya sendiri. Dan jika Sultan Harun Al Rasyid yang memimpin bangsa ini, Indonesia akan menjadi negeri dengan beribu-ribu kesejhateraan. Alih-alih, semangat Sultan pun tidak ada dinegeri ini. Fastabiqu al khairat.

Setelah Diultimatum Wapres, Penyelesaian RPP Sabang Dikebut

JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengebut penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS), beserta tiga RPP dan dua Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) lainnya. Wakil Presiden M Jusuf Kalla meminta seluruh RPP dan Ranperpres itu harus tuntas dalam minggu ini.“Harus rampung dalam minggu ini. Sekarang RPP Sabang. Besok jadwal RPP Migas,” tukas Direktur Otonomi Daerah (Otda) Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Dr Soni Sumarsono saat memimpin Rapat Antardepartemen Pembahasan RPP Sabang di Jakarta, Senin (8/6). Soal adanya desakan dari Wapres Jusuf Kalla (JK) terhadap percepatan penyelesaian RPP dan Ranperpres itu juga disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, A Hamid Zein SH MHum kepada Serambi kemarin. “Intinya semua harus sudah beres dalam minggu ini. Bagi Aceh, semakin cepat dituntaskan tentu makin baik,” ucap Hamid Zein yang ikut hadir dalam pembahasan. Desakan Wapres Jusuf Kalla pernah diutarakan secara terbuka ketika memberi sambutan pada Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbang) yang dihadiri kepala daerah dan Ketua Bappeda seluruh Indonesia beberapa waktu lalu di Hotel Bidakara, Jakarta.Dalam pembahasan itu dari Aceh hadir Sekda Husni Bahri TOB, Walikota Sabang Munawar Liza Zainal, kepala Biro Hukum dan Humas A Hamid Zein, staf ahli DPRA Mawardi Ismail, menajemen BPKS yang diwakili Iqbal Idris Ali, Abdul Halim, Lukman Efendi, dan Izwar Idris. Dari Forum Bersama Anggota DPR RI asal Aceh hadir Ahmad Farhan Hamid.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memerlukan lima PP dan tiga Perpres. Sampai saat ini yang baru selesai hanyalah PP Partai Politik Lokal dan Perpres tentang Tata Cara Konsultasi. Sementara PP yang masih belum terbit meliputi PP tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, PP tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, PP tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang, PP tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional, Perpres tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri dan Perpres tentang Perubahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Perangkat Daerah Aceh dan Perangkat Kabupaten/Kota. Hamid Zein mengatakan berbagai kesepakatan berhasil dicapai dan hanya sebagian kecil yang masih dibincangkan. “Saya kira akan segera dicapai kesepakatan,” katanya. Di antara pasal-pasal yang dinilai “krusial” dalam RPP Sabang, menurut Hamid Zein, antara lain, terkait status hukum dan kelembagaan. Pemerintah Aceh mengusulkan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) bisa diakui sebagai badan hukum publik. Dengan demikian lembaga tersebut bisa melaksanakan hubungan publik kenegaraan dan hubungan keperdataan.Farhan Hamid yang dihubungi secara terpisah mengatakan seluruh PP dan perpres itu jangan sampai ditunda lagi penyelesaiannya. “Sebab sudah terlalu lama terbengkalai. UUPA sudah berumur tiga tahun,” katanya membandingkan. Forbes DPR RI asal Aceh sudah sejak lama mendesak Pemerintahn agar menuntaskan seluruh peraturan sebagai turunan dari UUPA. “Kitapun telah berkali-kali mempertanyakan penyelesaiannya. Kali ini jangan sampai molor lagi,” ujar Farhan Hamid yang dalam Pemilu 2009 terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Aceh. (fik)

Senin, 08 Juni 2009

Hakim Bebaskan Kontraktor

MEULABOH - Majelis hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengerjaan lanjutan pembangunan jalan utama Suka Makmue, Nagan Raya memvonis bebas terdakwa Imran, selaku kontraktor CV Pemuda pada Kamis (4/6). Vonis bebas majelis hakim berbeda dari tuntutan JPU Kejari Meulaboh yang menuntut 4 tahun penjara dan pidana denda Rp 200 juta.Sidang pada hari itu dipimpin Kamaluddin SH MH dan hakim anggota Al-Farobi SH serta Nasri SH. Sidang dengan agenda membacakan vonis itu selain dihadiri terdakwa serta JPU dari Kejari Meulaboh juga hadir penasehat hukum terdakwa Agus Herliza SH. Majelis hakim menyebutkan bahwa yang menentukan adendum 10 persen itu ada ditangan pemberi jasa (Kepala Dinas PU Nagan Raya) sedangkan terdakwa hanya sebagai penguna jasa (pelaksana pekerjaan), serta kerugian yang didakwakan oleh JPU juga tidak terbukti.Begitupun, dalam melakukan pengukuran di lapangan tidak menggunakan alat ukur, tetapi hanya mengali dalam beco dengan kedalaman 1,5 meter serta saksi ahli yang diajukan JPU tidak memenuhi syarat sebagai saksi ahli karena tidak memiliki sertifikasi keahlian dan tidak memiliki keahlian tentang proyek jalan sehingga unsur pasal yang didakwakan tidak memenuhi secara hukum. Bahwa, atas pertimbangan hukum tersebut menyatakan Imran tidak terbukti dalam dakwaan JPU baik primer dan skunder serta membebaskan terdakwa dari segala tuntutan JPU.Menangapi putusan itu, JPU menyatakan masih pikir-pikir guna mengajukan kasasi. Namun sebelumnya JPU menuntut Imran dengan dakwaan primer telah melanggar pasal 2 ayat 2 jo pasal 4 jo pasal 18 ayat 1 huruf a, b ayat 2, dan ayat 3 UU nomor 31/1999 yang telah dirubah dengan UU nomor 20/2001 tentang pemberantasan korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana. Ia dituntut oleh JPU 4 tahun penjara serta denda sebesar Rp 200 juta, subsider 3 bulan kurungan dan memerintahkan terdakwa Imran membayar uang penganti sebesar Rp 708.879.406,38. Jika terdakwa tidak membayar dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang penganti dan bila harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang penganti di pidana penjara selama 7 bulan.Seperti diberitakan sebelumnya, kasus dugaan korupsi itu dilakukan penyelidikan oleh Kejati Aceh beberapa waktu lalu serta setelah berkas pemeriksaan rampung diteruskan ke Kejari Meulaboh guna diteruskan ke Pengadilan Negeri Meulaboh (Nagan Raya masih dibawa hukum Pangadilan Negeri Meulaboh). Yakni Kejati Aceh menetapkan Imran sebagai tersangka dalam kasus itu dengan nilai proyek pembangunan jalan utama Suka Makmue, Nagan Raya sebesar Rp 1.396.389.000 dan setalah dilakukan adendum nilai kontra menjadi Rp 1.996.825.000 yang dituangkan dalamn adendum kontrak 20 Oktober 2006.(riz)

Pemerintah Godok RPP Pelimpahan Kewenangan

SABANG - Dewan Kawasan Sabang (DKS) bersama pemerintah pusat saat ini sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pelimpahan kewenangan pemerintah kepada DKS. “Jika RPP ini disahkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP), nantinya kewenangan itu akan dilimpahkan kepada DKS untuk selanjutnya dilaksanakan oleh BPKS,” ujar Walikota Sabang, H Munawar Liza Zainal yang juga anggota DKS kepada wartawan Jumat (5/6).Menurutnya, posisi terakhir RPP itu sudah dibahas oleh DKS dengan pemerintah yang terdiri dari unsur kementerian dalam negeri, Bappenas dan sejumlah kementerian terkait lainnya. Kegiatan yang difasilitasi ALGAP ini, mebahas sejumlah daftar isian malasah (DIM) untuk harmonisasi antara RPP draf pemerintah dengan pertimbangan Gubernur Aceh. Beberapa poin diantaranya, ada yang mendapat koreksi, dihapus dan ada pula yang mengalami penambahan. Berdasarkan pasal 3 draft RPP itu, kewenangan yang akan dilimpahkan meliputi perdagangan dalam dan luar negeri, industri, energi dan sumberdaya mineral.Selanjutnya, perhubungan, penataan ruang, pariwisata, perikanan, penanaman modal, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. “Kewenagan yang dilimpahkan itu, nantinya akan dilaksanakan oleh BPKS,”tambah Munawar Liza. Draft yang memuat 12 pasal ini, beberapa butir ayat dan pasalnya yang dihapus yaitu ayat 3 pasal 4, ayat 1-3 Pasal 5 yang memuat tentang struktur dan kewenangan BPKS. Dan ayat 1-3 pasal 6 yang mengatur tentang pembentukan unit kerja oleh BPKS. Pasal ini dihapus karena diluar mandat RPP pelimpahan kewenangan pemerintah kepada DKS. Sedangkan pasal 8 mengenai pembentukan tim asistensi dihapus dengan pertimbangan tugas fasilitasi dilaksanakan oleh instansi pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Munawar mengaku optimis RPP ini bakal segera rampung dan diterbitkan menjadi PP.(fs)

ULP Aceh Timur Lamban Umumkan Tender

IDI - Unit Layanan Pengadaan (ULP) barang dan jasa pemerintah Kabupaten Aceh Timur dinilai lamban mengumumkan pemenang tender sejumlah proyek yang bersumber dari APBK tahun anggaran 2009. Kelambanan ini dikhawatirkan dapat berakibat pada tidak dapat diselesaikannya pembangunan sesuai target waktu yang ditentukan.Koordinator Badan Pekerja Solidaritas Untuk Peduli Anggaran (SaPA), Rizalihadi, kepada Serambi, Sabtu (6/6) menyebutkan hingga memasuki awal Juni ini, sejumlah proyek khususnya yang bersumber dari dana APBK tahun 2009 yang sudah ditenderkan belum juga dilakukan pengumumannya kepada publik. Sehingga masyarakat tidak mengetahui perusahaan mana saja yang akan melaksanakan kegiatan proyek-proyek tersebut. “Kalau tahun lalu mungkin kita bisa maklum, karena alasan terlambatnya pengesahan APBK, namun untuk tahun ini apalagi alasan yang harus diketahui publik, sehingga pengumuman tender itu belum juga dilakukan,” tanyanya heran.Ia mencontohkan pengumuman lelang 67 unit proyek dengan total anggaran milyaran rupiah yang dibiayai oleh APBK dan DAK tahun anggaran 2009 hingga kini belum juga diumumkan pemenangnya. Padahal pengumuman lelang itu telah dikeluarkan pada tanggal 25 Maret 2009. Artinya setelah pengesahan APBK tahun anggaran 2009 pada Februari lalu hingga memasuki Juni ini yang sudah mencapai empat bulan belum juga diumumkan. Menurutnya, jika ULP lamban diumumkan, dikhawatirkan akan berdampak pada tidak dapat diselesaikannya proyek oleh pihak rekanan sesuai target waktu yang ditentukan. Sementara kepada setiap pemenang tender nantinya, dia berharap agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik serta sesuai mekanismen yang ada, seperti pemasangan papan nama, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, demikian Rizalihadi.(na)

Sabtu, 06 Juni 2009

Pemerintah Harus Dukung Perlindungan Saksi
Koalisi perlindungan saksi rekomendasikan lima hal kepada pemerintah.


Siswanto, Zaky Al-Yamani

VIVAnews – Koalisi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikan lima hal kepada pemerintah. Rekomendasi itu terkait belum adanya dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan undang-undang perlindungan saksi.

“Pertama agar pemerintah memperkuat komitmen dan dukungan keberadaan dan pembentukan LPSK,” kata Pengurus Lembaga Studi dan Advokasik Hak Asasi Manusia, Ahmad Hambali, dalam konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Rekomendasi kedua pemerintah harus menginstruksikan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Sekretariat Negara memproses Peraturan Presiden tentang kedudukan, susunan organisasi tugas dan tanggung jawab LSPK.

Ketiga mesti memerintahkan Departemen Keuangan menyediakan anggaran bagi operasional lembaga itu. Keempat harus menyediakan kantor sekretariat. Dan kelima memerintahkan Sekretariat Negara segera menunjuk sekretaris yang bertugas memfasilitasi kerja LPSK.

• VIVAnews

Jumat, 05 Juni 2009

Pengusutan Korupsi Sangat Tergantung Proses Audit

Tangani 11 Kasus, Jaksa Bantah Data GeRAK

4 June 2009, 09:42 Utama Administrator

BANDA ACEH - Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, H M Adam SH menyatakan, pengusutan kasus dugaan korupsi sangat tergantung pada proses audit dari pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Kita tetap serius menidaklanjuti setiap kasus yang kita tangani. Tapi semua proses ini sangat tergantung pada proses audit,” ungkap M Adam didampingi Kasi Penkum Humas Kejati, Ali Rasab Lubis SH kepada wartawan di Kantor Kejati Aceh, Rabu (3/6).

M Adam menjelaskan, dalam mengusut setiap kasus korupsi, pihak Kejati selalu merujuk pada hasil audit BPKP sebelum kasus tersebut dilimpahkan ke pengadilan. Karenanya, kata M Adam, pengusutan sebuah kasus dugaan korupsi butuh waktu yang relatif panjang. “Jadi ini bukan soal keterlambatan atau kita tidak serius. Tapi ini menyangkut dengan nasib orang lain. Jadi sangat hati-hati kita dalam menangani satu kasus. Jangan sampai rasa keadilan orang lain itu kita rampas,” ujarnya.

Penegasan tersebut disampaikan M Adam menanggapi tudingan GeRAK Aceh yang menilai Kejati Aceh terkesan lamban dalam menuntaskan pengusutan kasus dugaan korupsi, seperti dilansir Serambi kemarin. M Adam juga membantah data yang dirilis GeRAK Aceh yang menyebutkan bahwa Kejati Aceh saat ini menangani delapan kasus dugaan korupsi.

Menurut M Adam, dari delapan kasus yang dirilis GeRAK itu, hanya tiga kasus yang ditangani oleh pihak Kejati Aceh. Ketiga kasus tersebut adalah; indikasi kasus stempel palsu untuk melakukan tindak pidana korupsi di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) II Lhokseumawe pada Dinas Mobilitas Penduduk Provinsi Aceh bersumber dari dana APBA tahun 2007 dengan total indikasi kerugian negara sebanyak Rp.75.178.000.

Selanjutnya indikasi korupsi pengelolaan dana di TVRI Stasiun Banda Aceh alokasi bersumber dari APBA dan APBN dengan total indikasi kerugian mencapai Rp 13,2 miliar dan indikasi korupsi proyek pengadaan dan pengoperasian Nourth Acheh Air (NAA) di Aceh Utara bersumber dari dana APBK sebesar 4 miliar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp 2,5 miliar. “Sedangkan yang lainnya kami tidak menangani. Jadi tidak benar Kejati menangani delapan kasus tersebut seperti yang disampaikan GeRAK,” kata M Adam.

Ketika Serambi mengkonfirmasikan sejumlah data baru tentang dugaan korupsi, Asisten Intelijen Kejati Aceh, M Adam SH mengakui bahwa Kejati Aceh telah menangani 11 kasus dugaan korupsi. Beberapa di antaranya telah dihentikan karena tidak ditemukan bukti, ada yang masih dalam proses di penyidikan, dan ada yang masih dalam tahap penyelidikan. M Adam menegaskan, kasus-kasus yang kini masih dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan, terus diupayakan untuk dituntaskan. Bahkan, beberapa di antaranya sudah ditetapkan tersangka dan ada juga yang akan menjalani ekspos perkara dalam waktu dekat ini.(sar)

Daftar Kasus yang Ditangani Kejaksaan Tinggi Aceh :

1. Indikasi korupsi proyek pengadaan dan pengoperasian Nourth Acheh Air (NAA) di Aceh Utara. Alokasi dana Ini bersumber dari dana APBK sebesar 4 miliar dan tidak dapat dipertanggung jawabkan sebesar Rp 2,5 miliar. (Keterangan: sudah dihentikan sementara menunggu hasil audit Bawasda)

2. Indikasi korupsi pengelolaan dana di TVRI Stasiun Banda Aceh. Alokasi bersumber dari APBA dan APBN dengan total indikasi kerugian mencapai Rp 13,2 miliar. (Keterangan: masih di penyidikan)

3. Indikasi kasus stempel palsu untuk melakukan tindak pidana korupsi di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) II Lhokseumawe pada Dinas Mobilitas Penduduk Provinsi Aceh. Alokasi dana APBA tahun 2007 dengan total indikasi kerugian negara sebanyak Rp 75.178.000. (Keterangan: masih di penyidikan)

4. Indikasi korupsi mark-up pembebasan lahan terminal mobil barang di Desa Santan-Meunasah Krueng. Alokasi dana bantuan BRR NAD-Nias DIPA 2007. Indikasi kerugian negara sebanyak Rp 8 miliar (Keterangan: tidak terbukti ada indikasi korupsi dan sudah dihentikan)

5. Indikasi korupsi kasus film dokumenter “Potret Pilkada Aceh”. BRR NAD-Nias DIPA 2006 Rp 497,8 juta. (Keterangan: sudah dihentikan karena kesulitan memintai keterangan orang-orang yang diduga terlibat karena berada di Jakarta)

6. Indikasi korupsi Yayasan Tarbiyah. Proyek BRR NAD-Nias penyimpangan pelatihan Guru SLTP/MTSN DIPA 2007 Rp.8,4 milyar, terjadi penyimpangan sebesar Rp 2,5 miliar. (Keterangan: masih di penyidikan)

7. Indikasi korupsi proyek restorasi hutan manggrove dan pantai pada Satker Pesisir dan lingkungan Hidup NAD program BRR NAD-Nias DIPA 2006. Indikasi kerugian negara sebesar Rp 43,2 miliar (Keterangan: masih di penyidikan)

8. Indikasi korupsi pengadaan alat laboratorium kimia, biologi, fisika untuk SMA/MA, SMP/MTs pada Satker Program Pendidikan dan Pengembangan Pendidikan di BRR NAD-Nias DIPA 2006. Indikasi kerugian negara sebesar Rp 5,392 miliar (Keterangan: masih dalam tahap penyelidikan)

9. Indikasi korupsi kasus kontrak konsultan PT. Sendang Rekayasa Piranti Informatika Tahun 2006 pada Satker BRR Perumahan dan Pemukiman Wil I DIPA 2006. Indikasi kerugian negara sebesar Rp 673 juta. (Keterangan: masih di penyidikan)

10. Dugaan tindak pidana korupsi kasus penggelapan dana bantuan BRR untuk peringatan tiga tahun tsunami DIPA 2007. Indikasi kerugian negara sebesar Rp 200 juta (Keterangan: Dalam proses pemberkasan untuk penuntutan. Tapi berkas tidak lengkap sudah dikembalikan kepada penyidik Polda)

11. Dugaan penyimpangan penggunaan dana hibah (dana bantuan penanganan pascabencana) dari Menko Kesra sebesar Rp 16 untuk pembangunan infrastruktur pascabanjir 2008 di Aceh Timur. (Keterangan: Hasil penelitian dan Pulbaket tim Kejati yang dipimpin Asintel M Adam SH bersama 12 kasi tidak menemukan ada indikasi korupsi)

Sumber: Serambi Indonesia

Selasa, 02 Juni 2009

Jaksa Telusuri Aliran Dana

BANDA ACEH - Penyelidikan kasus dugaan penyimpangan penggunaan dana hibah dari Menko Kesra sebesar Rp 16 miliar untuk pembangunan infrastruktur pascabanjir 2008 di Aceh Timur terus menggelinding. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menyatakan sedang berupaya menelusuri aliran dana hasil penyimpangan tersebut yang diduga juga turut melibatkan beberapa orang di kalangan instansi Pemkab Aceh Timur.

“Kita masih melakukan pengumpulan data dan keterangan untuk mengetahui aliran dana ini digunakan, termasuk siapa saja yang menggunakan dan bagaimana dana ini digunakan,” kata Kasi Penkum Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH kepada wartawan di Kantor Kejati Aceh, di Banda Aceh, Senin (1/6).

Dia menjelaskan untuk kepentingan penyelidikan itu, Kejati Aceh telah memanggil setidaknya tujuh orang untuk dimintai keterangannya. Termasuk beberapa pejabat Pemkab Aceh Timur, yaitu; Ir Zulkifli (mantan pejabat penanggung jawab operasional kegiatan pelaksanaan dana bantuan pascabencana tahun 2008), Amir Syarifuddin SKM (ketua panitia pengadaan barang dan jasa proyek dana bantuan penanganan pascabencana tahun 2008), dan drh Cut Ida Mariya (sekretaris panitia pengadaan barang dan jasa proyek dana bantuan pascabencana tahun 2008).

Selain itu, Kejati juga telah memintai keterangan terhadap Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dan Kabag Kesra, Furqan BA, Darmawan M Ali ST M ISD (pejabat penanggung jawab operasional kegiatan pelaksanaan dana bantuan pascabencana tahun 2008), dan Subaliono (bendahara dana bantuan penanganan pascabencana).

Menurut Ali Rasab, pihaknya terus berupa untuk mengungkap kasus tersebut. Namun dia enggan menjelaskan detil terkait upaya pihaknya menelusuri aliran dana tersebut karena saat ini prosesnya masih berlangsung di bagiaiasebutkan, salah satu upaya tim adalah mencari tahu bagaimana persisnya mekanisme penggunaan dana hibah senilai Rp 16 miliar itu yang kabarnya telah digunakan untuk pembangunan sejumlah proyek di Aceh Timur.

Dia jelaskan, sebagai tahap awal, proses pengumpulan data dan keterangan akan terus dilanjutkan. “Dalam beberapa hari ini kita juga akan panggil kembali beberapa orang lainnya yang menurut kita patut untuk kita mintai keterangannya,” tegas Ali Rasab. Saat didesak wartawan, apa saja hasil permintaan keterangan terhadap orang-orang yang telah dipanggil, atau apakah ada yang sudah mengarah pada tersangka, Ali Rasab kembali menolak untuk menjelaskan. Menurutnya, isi materi permintaan keterangan belum dapat diketahui media dan publik, karena data dan keterangan itu bersifat rahasia tim inteligen.

Sementara itu, Ali Rasab juga menegaskan, tim berupa bekerja secara independen dan tidak berada di bawah intervensi pihak-pihak tertentu. “Terserah orang bicara apapun. Apakah ini ada unsur politis atau tidak. Yang jelas kita berkerja sesuai tupoksi berdasarkan yuridis dan faktual,” katanya.(sar)

Korupsi Tanjung Api-api

Jakarta - Mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Sjahrial Oesman kembali diperiksa. Ini adalah pemeriksaan pertama bagi Sjahrial usai ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2 pekan lalu.

"Diperiksa sebagai tersangka untuk pengembangan penyidikan," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP saat dihubungi detikcom, Selasa (2/6/2009).

Sjahrial sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api, Sumsel. Ia diduga bertanggung jawab atas aliran dana sebesar Rp 5 miliar kepada anggota Komisi Kehutanan DPR untuk mempercepat proses rekomendasi proyek tersebut.

Selain Sjahrial, KPK juga akan memeriksa mantan Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Oentarto Sindung Mawardi. Pria paruh baya tersebut sudah hampir setahun ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pemadam kebakaran di beberapa provinsi di Indonesia.

Menurut Johan, pemeriksaan bagi Oentarto merupakan pemeriksaan lanjutan. KPK belum berhenti mengusut kasus tersebut. Ketika ditanya soal rencana penahanan, Johan belum bisa memastikannya.

"Belum tahu, tergantung penyidiknya," tutup Johan.

Jumat, 29 Mei 2009

Minggu, 10/05/2009 17:50 WIB

Jakarta & Jabar Masuk Daftar Provinsi Paling Banyak Kasus Korupsi

Didi Syafirdi - detikNews

Jakarta - Hasil Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap kejaksaan daerah di 9 provinsi ditemukan 275 kasus korupsi sepanjang tahun 2008 dengan potensi kerugian Negara Rp 18,72 triliun.

Sembilan propinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur berdasarkan data kejaksaan, media massa BPK dan laporan masyarakat.

Perkara korupsi paling banyak berada di sektor pemerintah dengan 111 kasus, sektor infrastruktur 50 kasus, dan pendidikan 36 kasus. Sedangkan dari sisi kelembagaan, eksekutif paling banyak yakni 275 kasus korupsi, swasta 27 kasus, dan legislatif 17 kasus.

"Jumlah aktor yang melakukan korupsi, terbanyak eksekutif 403 aktor, legislatif 127, dan legislatif 122," ujar Koordinator Investigasi ICW, Agus Sunaryanto kepada wartawan di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (10/5/2009).

Untuk kerugian Negara menurut Agus terbanyak ada di sektor perbankan sebesar Rp 9,49 triliun, pemerintahan Rp 2,9 triliun dan Infrastruktur Rp 1,1 triliun. Kerugian Negara terbesar ada di bank Indonesia Rp 9 triliun, eksekutif Rp 8,5 triliun dan BUMN Rp 572 triliun.

(did/ndr)

Selasa, 26 Mei 2009

Pupuk Subsidi Terancam tak Terdistribusi

KUALA SIMPANG – Pupuk urea bersubsidi yang diperuntukkan bagi petani di Aceh Tamiang terancam tidak terdistribusi. Hal itu disebabkan keengganan kios pengecer menjual pupuk bersubsidi, karena dinilai tak mendapat untung bahkan mereka nyaris rugi. Kondisi tersebut terungkap saat Pansus Komisi B DPRD Aceh Tamiang, Saipul Sopian, Saipul Bahri SH, Intan Mulia, dan Rahman bersama intansi terkait melakukan kunjungan kerja ke sejumlah kios pengecer pupuk di kabupeten setempat.

Ketua Komisi B, Saipul Sopian kepada Serambi, Senin (25/5) mengatakan, harga pupuk subssidi yang ditetapkan pemerintah Rp 1.200 per kilogram atau setara Rp 60 ribu per zak ukuran 50 kilogram, sementara harga pupuk yang diterima kios pengecer dari penyalur Rp 58.250 per zak, sehingga pedagang hanya memperoleh keuntungan Rp 1.750 per zak.

“Jika harga pupuk dijual Rp 1.200 per kilogram kepada petani, kios pengecer mengaku tidak mendapat untung. Selain harga yang ditetapkan penyalur Rp 58.250 per zak, pedagang kios juga harus mengeluarkan biaya lainnya sebesar Rp 3.000 per zak,” katanya. Antara lain, ongkos bongkar muat Rp 2.000 per goni, ditambah lagi ongkos langsir dari gudang tempat penyimpanan pupuk ke kios pengecer dalam kota sebesar Rp 1.000 per goni. Sehingga jumlah pengeluaran secara seluruhan sebesar Rp 61.250 per zak.

Karena hitungannya rugi, sebut Saipul, kepada anggota dewan para pedagang mengungkapkan keengganannya menjual pupuk bersubsidi tersebut. Di samping itu mereka juga khawatir disalahkan dan berurusan dengan hukum jika harga jualnya dinaikkan melebihi harga HET yang ditetapkan pemerintah.

Harga HET yang ditetapkan pemerintah membuat pedagang tipis mendapatkan untung, bahkan nyaris rugi. Sedangkan harga pupuk subsidi urea lama yang saat ini masih dijual pedagang harganya Rp 65 ribu sampai Rp 75 ribu per zak (isi 50 kilogram). “Tambahan biaya pengeluaran tersebut dikeluhkan kios pengecer, sehingga mereka berpikir dua kali untuk menjual pupuk urea bersubsidi,” ujarnya.

Untuk mencari solusi agar harga pupuk tetap murah dijual kepada petani sesuai harga yang ditetapkan pemerintah, dewan akan duduk kembali dengan dinas terkait guna mencari solusi terbaik. “Kita duduk kembali bermufakat mencari solusi. Bisa saja ongkos angkut yang Rp 3.000 tersebut disubsdidi Pemkab Tamiang, sehingga harga jual pupuk urea tetap sesuai HET,” ujar Saipul.

Dalam pansus tersebut, anggota dewan juga mengaku kecewa karena sejumlah kios yang ditunjuk menjual pupuk bersubsidi berada di Kota Kuala Simpang. Bahkan, di Kecamatan Kejuruan Muda dan Tenggulun tidak ada kios pengecer pupuk bersubsidi yang ditunjuk pemerintah. Kondisi ini membuat petani harus mengeluarkan biaya tranportasi lagi untuk membeli pupuk dari Tenggulun ke Kota Kuala Simpang. “Kita minta kios pengecer yang ditunjuk pemerintah, berada di setiap kecamatan yang ada di Tamiang, sehingga harga pupuk murah, dan mudah terjangkau petani,” demikian Saipul.(md)

Sistem Kontrol Keuangan Aceh Utara Sangat Lemah

BANDA ACEH - Bobolnya Rp 20 miliar dana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Utara dari Rp 220 miliar yang didepositokan di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bank Mandiri Jelambar, Jakarta Barat, salah satu penyebab utamanya adalah sangat lemahnya sistem kontrol keuangan di kabupaten yang dipimpin Ilyas A Hamid tersebut.

Penilaian itu dilontarkan pakar Akuntansi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr Islahuddin, menjawab Serambi, Minggu (24/5), sehubungan dengan bobolnya Rp 20 miliar uang kasda Aceh Utara yang didepositokan di luar Aceh. Menurut Islahuddin, untuk pemindahan dan penarikan uang daerah dalam jumlah besar, biasanya harus ditandatangani oleh dua orang penguasa pengguna anggaran (PPA) daerah, yaitu bupati dan sekda. “Jika ada penarikan dan pemindahan uang daerah dalam jumlah besar hanya dilakukan oleh seorang pejabat, ini menandakan sistem kontrol keuangan daerah tersebut sangatlah lemah,” timpal Islahuddin.

Sistem kontrol keuangan suatu daerah bisa berjalan baik dan sehat, kata Islahuddin, jika masing-masing PPA-nya saling mengontrol dan mengingatkan. Karena itu, dalam penandatanganan specimen cek kontan uang daerah yang akan dicairkan atau dipindahkan dari satu bank ke bank lainnya, tidak diteken oleh satu orang, melainkan dua orang. “Tujuannya, ya sebagai kontrol,” tukas Islahuddin.

Bahkan, kata Islahuddin, pembukaan rekening daerah di sebuah bank, berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 junto Pasal 179 ayat (3) Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, haruslah ditetapkan dengan SK kepala daerah dan diberitahukan kepada DPRD setempat. Permendagri mengatur demikian, kata Islahuddin, dimaksudkan agar setiap pembukaan rekening daerah di sebuah bank untuk penempatan uang daerah di sebuah bank oleh kepala daerah diketahui DPRA. Tujuannya untuk akuntabilitas dan transparansi keuangan daerah.

Menurut Islahuddin, pemindahan Rp 420 miliar uang Pemkab Aceh Utara dari BPD Lhokseumawe ke dua bank di luar Aceh, yakni ke Bank Muamalat Indonesia (BMI) Rp 200 miliar dan Bank Mandiri, Jelambar, Rp 220 miliar oleh Bupati Aceh Utara apakah telah memenuhi sistem kontrol keuangan daerah yang benar, pihak Bupati dan Sekda Aceh Utara lah yang mengetahui hal itu.

Jika pemindahannya dilakukan dengan benar dan berpedoman pada sistem kontrol keuangan daerah yang benar, dan tidak ada maksud lain, kata Islahuddin, maka uang daerah itu tidak mungkin bisa bobol dan bermasalah seperti yang terjadi sekarang ini. “Ini pasti ada yang tidak beres,” ujar ilmuwan kelahiran Aceh Utara ini.

Menurut Islahuddin, ketidaktahuan seorang kepala daerah mengenai mekanisme transfer uang di perbankan, bisa diatasi dengan memanfaatkan jasa penasihat keuangan dan cara ini dibenarkan. Ia contohkan, para gubernur di negara-negara maju malah melakukan hal itu demi mencegah terjadinya kesalahan transfer dan pembobolan keuangan daerahnya dari mafia atau agen-agen keuangan. Sedianya, bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota, dan sekda di Aceh bisa mengikuti pola yang demikian demi mencegah kisruh keuangan di belakang hari.

Perlu dipertanyakan
Pakar Ekonomi Unsyiah lainnya, Dr Nazamuddin, berpendapat meski Gubernur Aceh telah mengevaluasi belanja pembangunan APBK Pemkab Aceh Utara Tahun 2009 dengan pagu Rp 1,352 triliun, tapi menurut analisanya, masih banyak hal yang perlu dipertanyakan oleh anggota DPRK Aceh Utara. Antara lain, tentang besaran penerimaan pembiayaan daerah yang dicantumkan dalam APBK 2009 untuk mengatasi defisit.

Untuk mengatasi defisit APBK 2009 Rp 557,975 miliar, Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK) Aceh Utara memasukkan penerimaan pembiayaan Rp 744,8 miliar, sehingga jika seluruh penerimaan daerah masuk sesuai rencana dan realisasi belanja pembangunan daerah 100 persen, maka pada akhir tahun 2009 nanti Aceh Utara diperkirakan masih surplus Rp 167,7 miliar.

Penerimaan pembiayaan itu biasanya berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (silpa), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, dan penerimaan piutang daerah. “Ini bisa dilihat pada Pasal 60 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,” ujar Nazamuddin.

Ia juga membandingkan bahwa Silpa APBK Pemkab Aceh Utara Tahun 2008 dari nota keuangan yang dibuat pemkab pada perubahan APBK 2008 nilainya Rp 164,5 miliar. Jika silpa APBK setelah perubahan APBK 2008 nilainya menjadi Rp 164,5 miliar, lalu dikurangi dengan penerimaan pembiayaan yang dimasukkan ke dalam APBK 2009 Rp 744,8 miliar, maka terjadi minus Rp 577,096 miliar.

Untuk menutupi penerimaan pembiayaan yang minus tadi, kata Nazamuddin, ia belum melihat dari sumber mana diambil oleh Pemkab Aceh Utara. Sebab, dari buku vertikal APBK 2009 yang diberikan kepada DPRK Aceh Utara, pada lampiran dana cadangan tidak terlihat besarnya dana cadangan pemkab, begitu juga dalam lampiran penerimaan penjualan aset daerah, kolomnya masih kosong.

Jadi, kekurangan dana penerimaan pembiayaan yang akan dijadikan Pemkab Aceh Utara untuk menutupi defisit anggaran APBK 2009 Rp 557,975 tersebut diambil dari sumber peneriaan yang mana? “Apakah masih ada silpa lain selain silpa perubahan APBK 2008 yang telah dijelaskan sebelumnya kepada DPRK Rp 164,5 miliar,” tanya Nazamuddin.

Selain itu, ungkap Nazamuddin, yang juga perlu diketahui DPRK Aceh Utara adalah penambahan anggaran belanja pembangunan sebesar Rp 10,6 miliar. Pada SK DPRK Aceh Utara Nomor 102/2009 tanggal 27 Februari 2009 yang ditandatangani Wakil Ketua Ridwan Yunus tentang Persetujuan APBK 2009 Aceh Utara, belanja pembangunan yang disetujui Rp 1,341 triliun.

Akan tetapi dalam SK DPRK Nomor 04 Tahun 2004 tertanggal 16 Maret 2007 yang diteken Wakil Ketua DPRK Aceh Utara, Zulkifli Hanafiah, tentang tindak lanjut dari Keputusan Gubernur Aceh Darussalam Nomor Ku.903/18/2009 tentang Evaluasi RAPBK Aceh Utara 2009, belanja pembangunannya malah bertambah Rp 10,6 miliar menjadi Rp 1,352 triliun. “Tambahan itu untuk apa dan harus dijelaskan kembali kepada anggota DPRK dan masyarakat,” ujar Nazamuddin. Melihat besarnya sipla dan penerimaan pembiayaan dalam APBK Aceh Utara 2007-2009, Nazamuddin mengatakan, pelaksanaan pembangunan di daerah ini belum berjalan maksimal. Tahun 2007 dana Silpa Aceh Utara mencapai Rp 1,2 triliun, tahun 2008 turun menjadi Rp 164,5 miliar, lalu pada tahun 2009 untuk mengatasi defisitnya Rp 557,9 miliar, dibuat penerimaan pembiayaannya yang cukup besar, mencapai Rp 774,8 miliar. “Kalau demikian kejadiannya, apakah silpa yang dibuat pada bulan Oktober 2008 dalam perhitungan perubahan APBK 2008 sebesar Rp 164,5 miliar, belum merupakan Silpa APBK 2008 yang sesungguhnya?” tanya Nazamuddin. (her)

Jumat, 22 Mei 2009

Pemerintah Aceh Kembali Kucurkan Beasiswa Khusus

BANDA ACEH - Setelah sukses memberikan beasiswa khusus kepada 32 siswa lulusan SMA/MA/SMK tahun 2008 lalu, pada tahun 2009 ini, Pemerintah Aceh kembali akan memberikan beasiswa khusus kepada mereka yang berprestasi dalam berbagai bidang olimpiade sains, matematika, komputer sains, ketrampilan dan kemahiran khusus.

Ketua Komisi Beasiswa Provinsi Aceh, Dr Qismullah Yusuf kepada Serambi,Kamis (21/5) mengatakan, seleksi untuk calon penerima beasiswa khusus Pemerintah Aceh dijadwalkan dilaksanakan, Sabtu (23/5) besok. “Setiap daerah dan sekolah unggul, mendapat peluang yang sama besarnya untuk meraih beasiswa tersebut,” ungkap Qismullah.

Dikatakan, pemberian jatah untuk daerah dan sekolah unggul itu dilakukan Gubernur Irwansi Yusuf sebagai penanggung jawab dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar sebagai Ketua Dewan Pengarah. Setelah mendapat masukan dari Gubernur dan Wagub Aceh, Komisi Beasiswa kemudian mencari masukan dari berbagai pihak di semua kabupaten/kota di Aceh, baik masukan dari birokrat, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dan ulama.

Hasilnya, Pemerintah Aceh memutuskan untuk memberikan beasiswa secara adil kepada semua kabupaten/kota di Aceh dengan syarat setiap siswa SMA/MA/SMK mengirimkan satu siswa terbaik ke dinas pendidikan kabupaten/kota. Kemudian calon penerima beasiswa itu akan diseleksi oleh Komisi Beasiswa bersama Dinas Pendidikan Aceh dan kabupaten/kota dengan tiap daerah akan mendapat lima siswa terbaiknya.

Siswa sekolah unggul
Dr Qismullah juga mengatakan, untuk memberikan penghargaan kepada para bupati/walikota, ulama, dan tokoh pendidikan yang telah berpartisipasi dalam mendirikan berbagai sekolah unggul di berbagai kabupaten/kota di Aceh, Pemerintah Aceh akan menyediakan dua atau tiga beasiswa untuk setiap sekolah madrasah unggul.

Setiap sekolah hanya dibenarkan mengirimkan lima siswa terbaiknya untuk berkompetisi di jenjang sekolahnya dan hanya dua atau tiga siswa terbaik yang akan dipilih untuk menerima beasiswa Pemerintah Aceh. Sedangkan bagi siswa SMA/MA/SMK dan dayah yang siswanya meraih penghargaan perorangan tertinggi juga diberikan beasiswa penuh oleh Pemerintah Aceh.

Adapun bidang-bidang yang akan menjadi target beasiswa adalah: (1) olimpiade sains, matematika dan komputer sains, (2) olimpiade olah raga perorangan, (3) hafiz Qur’an (4) MTQ, dan (5) kepakaran khusus lainnya. Di samping itu, tahun 2009 ini, Pemerintah Aceh, juga akan memberikan penghargaan kepada orangtua/wali siswa, juga akan memberikan penghargaan kepada sekolah-sekolah yang siswanya memperoleh nilai paling tinggi pada seleksi yang akan diadakan pada tanggal 23 Mei 2009. Para siswa yang mendapat beasiswa akan dikirim ke berbagai universitas, meliputi Universitas Syiah Kuala, IAIN-Arraniry, Universitas Indonesia, IPB Bogor, ITB Bandung, ITS Surabaya dan universitas terkemuka lainnya di Indonesia.

Menjawab Serambi menyangkut jumlah siswa yang akan mendapat beasiswa tersebut, Dr Qismullah Yusuf mengatakan Pemerintah Aceh menyediakan beasiswa untuk: 23 kabupaten/kota x 5 siswa per kab/kota, 33 sekolah unggul x 2 atau 3 beasiswa persekolah unggul dan beasiswa juara olimpiade sains, matematika, komputer sains, olahraga perorangan tingkat I provinsi atau tingkat I, II, III dan harapan I, II dan III di tingkat nasional, juara MTQ dan hafiz Qur’an I, II, III dan harapan tingkat nasional/internasional.(sir)

Bupati Aceh Barat Lengakpi Bukti Korupsi ke KPK

JAKARTA —Melengkapi laporan sebelumnya, Bupati Aceh Barat Ramli MS kembali menyerahkan satu dus bukti tambahan dugaan korupsi Kawasan Industri Beureugang (KIB) PD Pakat Beusare, Aceh Barat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Kelengkapan bukti tersebut diserahkan Bupati Ramli melalui salah seorang tim asistensinya kepada KPK, di kantor KPK Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (18/5).

KPK dalam suratnya No. R-873/40-43/2009, tanggal 27 Februari 2009, menyatakan belum bisa menanggapi laporan korupsi Kawasan Industri Beureugang dan PD Pakat Beusare karena tidak memuat fakta/informasi. Menanggapi surat tersebut, Bupati Ramli kemudian menyerahkan data-data agregat tambahan ke KPK berupa dokumen surat-surat, neraca atas kasus KIB dan PD Beusare dan beberapa dokumen lainnya.

Dugaan korupsi di KIB dan PD Pakat Beusare pertama kali dilaporkan Bupati Aceh Barat Ramli MS kepada KPK pada 27 Januari 2009 lalu. Berkas tersebut diantar sendiri oleh bupati ke kantor KPK yang diterima Yuli Krostion. Berkas dugaan korupsi yang diserahkan Ramli tersebut merupakan Laporan Hasil Monitoring atas LHP Khusus Inspektorat Kabupaten Aceh Barat pada Kasus Korupsi PD. Pakat Beusare Meulaboh, dan Laporan Nomor : 700/04/BWD-LHPK/2008 Tanggal 10 Maret 2008 tentang Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Perusahaan Daerah (PD) Pakat Beusare Kabupaten Aceh Barat, serta Laporan LHP Inspektorat Nomor : 700/05/BWD-LHPK/2008 Tanggal 27 Agustus 2008 tentang Kasus Korupsi Kawasan Indsutri Beureugang (KIB) Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat.

PD Pakat Beusaree Meulaboh mengalami berbagai persoalan termausuk kerugian sebesar Rp 220 juta lebih, tunggakan piutang Rp 363 juta lebih, pertanggungjawaban fiktif biaya perjalanan dinas luar daerah sebesar Rp 15 juta, setoran PAD 2006 dan 2007 yang jauh dari target dan berbagai temuan lainnya.

Sedangkan dugaan korupsi di KIB Kaway XVI meliputi temuan penggelembungan volume biaya mobilisasi dan demobilisasi pada pekerjaan pengadaan alat-alat pengolahan kayu karet tahun anggaran 2003 sebesar Rp 85 juta lebih, pembangunan fasilitas celaner dry untuk keperluan pabrik pengolahan kayu karet senilai Rp 159 juta lebih yang tidak dimanfaatkan, penggelembungan harga tanah Kawasan Industri Beureugang tahun anggaran 2003 sebesar Rp 52 juta lebih, gedung pabrik minyak goreng, pabrik CPO dan gedung rice refeni unit (RRU) sejumlah Rp 641 juta lebih yang tidak berfungsi dan lain-lain. Waktu itu, Bupati Ramli mengharapkan KPK segera menindaklanjuti laporan tersebut. “Kalau dibiarkan berlarut-larut pasti akan mempengaruhi kinerja pemerintahan kami saat ini,” ujar Ramli MS.(fik)

Rabu, 20 Mei 2009

Sabang Terima Rp 1,2 Triliun

JAKARTA - Pemerintah pusat telah mengucurkan dana sebesar Rp 1,2 triliun untuk pembangunan kawasan Sabang selama kurun waktu 2003 sampai 2009. Dana tersebut berasal dari ‘pos anggaran 69’ APBN. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas, Paska Suzetta, mengatkan hal itu saat berbicara dalam seminar nasional ‘Menggerakkan Kawasan Sabang Sesuai Setatusnya,’ di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (19/5).

Dia mengatakan bahwa Pemerintah Pusat menaruh perhatian besar terhadap pembangunan kawasan Sabang. Buktinya, anggaran untuk Sabang terus meningkat dari Rp 27 miliar pada 2003, terus bertambah pada tahun 2004 hingga 2007. Tahun 2008 dialokasikan Rp 441 miliar, tahun 2009 Rp 421 miliar. “Tahun 2010 kita akan tambah lagi,” kata Paska tanpa menyebut angka.

Disebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 11 triliun lagi untuk membangun seluruh infrastruktur kawasan pelabuhan bebas Sabang. Untuk itu, ia mempersilakan Pemerintah Aceh mendapatkan sumber dana lain selain APBN yang sangat terbatas. Terhadap belum adanya PP tentang Sabang, kata Paskah, pembangunan Sabang tidak sepenuhnya tergantung kepada PP, mengingat pemerintah sudah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang bisa segera dijalankan.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dalam forum yang sama, secara khusus mendesak Pemerintah Pusat segera menerbitkan Peraturan pemerintah (PP) tentang Sabang, serta mensosialisasikan status Sabang ke seluruh instansi di Pusat, dan tidak mencabut status pelabuhan bebas Sabang menyusul disahkannya undang-undang mengenai lima pelabuhan bebas.

Gubernur juga meminta perhatian PT Pelindo (Pelabuhan Indonesia) untuk mengalihkan seluruh assetnya kepada Pemerintah Aceh sesuai perintah Undang-Undang No 11 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Proses itu sekarang ada di Departemen Keuangan,” ujar Irwandi. Kepala Badan Pengelola Kawasan Sabang (BPKS), T Syaiful Achmad menjawab Serambi di sela-sela seminar menegaskan, PP tentang Sabang tetap penting dan diperlukan. “Tanpa itu kita tidak bisa berbuat banyak, karena tidak jelasnya pembagian kewenangan antara Pusat dan Aceh,” ujarnya.

Ia mengatakan, BPKS menghadapi banyak kendala dilapangan, khususnya pelaksanaan kegiatan operasional seperti kelengkapan perangkat hukum, status hukum dan perbedaan persepsi terhadap status dan kedudukan kawasan Sabang dengan kecenderungan ego sektoral yang kontra produktif.

Misalnya, terjadinya penangkapan kapal yang mengangkut barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang secara berturut-turut yang dilakukan oleh satuan Polisi Airud dan satuan tugas Patroli Angkutan Laut. “Alasannya tidak jelas. Kapal dan barang sudah dilengkapi dokumen-dokumen legal,” ujar Syaiful. Irwandi juga mengakui, pengembangan Sabang tidak akan mulus tanpa PP. “Serlama ini Sabang dijalankan dengan peraturan gubernur (Pergub), tapi kewenangannya terbatas,” sebut Irwandi.

Seminar nasional tentang Sabang itu juga dihadiri Presiden Al-Aidid Petro Corporation Sdn.Bhd, Dato’ Ir Hj. Mohammad Aidid bin Hj Zakarioa, investor asal Malaysia yang berencana menamkan investasi senilai Rp 70 triliun di Pulau Aceh. Memorandung of Agreement (MoA) sudah diteken beberapa waktu lalu dan dijadwalkan pengerjaan fisik dilakukan bulan Oktober 2009. Perusahaan tersebut akan membangun penyulingan dan penyimpanan minyak dan akan diber hak kelola selama 20 tahun. Aceh, kata Gubernur Irwandi mendapat sharing saham sebesar 65 persen.

“Kami tertarik berinvestasi di Aceh karena letaknya sangat strategis setelah Singapore dan Port Klang sangat padat,” kata Dato’ Aidid menjawab Serambi. Seminar yang berlangsung sehari itu juga dihadiri Walikota Sabang, H Munawar Liza Zainal, serta sejumlah pejabat daerah dan Pusat.(fik)

Pimpro Rumah Banjir tak Penuhi Panggilan Dewan

KUALA SIMPANG - Pembangunan rumah untuk korban banjir Aceh Tamiang disinyalir bermasalah karena ada rekanan yang telah menarik uang proyek namun di lapangan, proyek pembangunan rumah belum selesai dikerjakan. Komisi C DPRD Tamiang yang ingin mengetahui sejauh mana pelaksanaan proyek tidak mendapat gambaran dari dinas PU. Karena pengendali pelaksana proyek (PPK) atau pimpro Dinas PU Tamiang tidak hadir ketika dipanggil dewan. Padahal sudah dipanggil sebanyak dua kali. Untuk membuktikan itu, dalam waktu dekat DPRD Tamiang akan membuat pansus dan meninjau langsung ke lapangan.

Ketua Komisi C DPRD Tamiang, Khairul kepada Serambi, Selasa (19/5) mengakui pihaknya telah memanggil pimpro rekontruksi pembangunan rumah banjir sebanyak dua kali, Jumat (8/5) dan Senin (11/8). Namun pimpro tetap tidak mau datang memberi penjelasan kepada dewan.

Ketidakhadiran pimpro membuat tanda tanya dewan dan mensinyalir rekon rumah banjir bermasalah. “Khusus untuk rekontruksi rumah banjir, PPK ada dua kali dipanggil anggota dewan namun tak datang,” ujar Khairul.

Khairul yang didampingi anggota komisi C, Elpian Raden dan Amrizal menambahkan, ketidakhadiran PPK tersebut diduga karena ia tidak mampu memberikan penjelasan kepada dewan karena ada indikasi uang proyek rumah banjir yang dicairkan baru-baru ini tidak sesuai dengan yang dilaporkan. “Ada indikasi kontraktor terima uang dulu baru mengerjakan pembangunan rumah,” ujar Elpian Raden.(md)

Selasa, 19 Mei 2009

Dewan Diminta Tunda Pembahasan Raqan WN

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh melalui Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar memohon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menunda pembahasan rancangan qanun tentang wali nanggroe (Raqan WN). Demikian disampaikan Wagub Muhammad Nazar dalam pembukaan sidang paripurna DPRA, Senin (18/5), dengan materi pembahasan sejumlah raqan. “Permohonan penundaan itu kita sampaikan, karena eksekutif ingin mendalami lagi isi dari raqan tersebut,” kata Wagub kepada pers, seusai pembukaan sidang tersebut.

Catatan Serambi, raqan wali nanggroe tersebut adalah salah satu usulan inisiatif raqan yang disampaikan anggota DPRA pada tahun lalu yang belum sempat disahkan. Untuk penyempurnaan isi raqan itu, Pansus DPRA telah melakukan dengar pendapat dengan berbagai elemen masyarakat, baik di Aceh, Medan dan Jakarta, bahkan ke luar negeri.

Bagi Dewan, kata Muhammad Nazar, mungkin isi raqan tersebut sudah baik, tapi untuk eksekutif yang akan melaksanakan isi dari raqan itu, perlu mengkaji lebih dalam lagi, meski raqan ini merupakan implementasi dari pasal UUPA tentang Wali Nanggroe. Pihak eksekutif, kata Nazar, perlu kembali mempelajari historis dan filosofi dari wali nanggroe. Menurut Nazar, pihak eksekutif perlu menanyakan kembali kepada mantan perunding dari GAM dan RI mengenai arti dari wali nanggroe yang disebutkan dalam Kesepakatan Damai RI-GAM, 15 Mei 2005 lalu di Helsinki, Finlandia, yang kini telah dituangkan dalam UUPA Nomor 11 tahun 2006.

“Untuk apa cepat kita sahkan, kalau di kemudian hari harus direvisi, karena raqan itu tidak aktual lagi dengan kondisi perubahan sosial dan kultural masyarakat Aceh. Karenanya, sebelum disahkan Dewan, kita mohon pembahasannya ditunda dulu,” ujar Nazar. Sedangkan terhadap tiga raqan lainnya, yaitu raqan MPU, tata cara pemilihan mukim, tata cara pemilihan dan pemberhentian geuchik, Nazar menyatakan, Pemerintah Aceh tidak keberatan jika pembahasan ketiga raqan tersebut tetap dilanjutkan, dan disahkan sesuai dengan jadwal pada pekan depan.

Dibahas bersama
Sekretaris Pansus XI, Yusrizal mengatakan, raqan wali nanggroe disampaikan pada sidang paripurna karena beberapa pertimbangan. Antara lain, pihak Pansus XI menilai, raqan ini sudah siap untuk disampaikan dalam Sidang Paripurna DPRA untuk dibahas bersama dengan eksekutif untuk kemudian disahkan.

Menurut dia, isi raqan ini sudah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan, setelah pihaknya melakukan sejumlah pertemuan dan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemimpin tertinggi GAM, Tgk Muhammad Hasan Di Tiro yang didaulat sebagai wali nanggroe oleh aktivis organisasi tersebut.

Tapi, kata Yusrizal, jika dalam pembahasannya pada sidang paripurna ini masih diperlukan perubahan, maka pihaknya menyerahkannya kepada forum. Menurut dia, dengan telah disampaikannya raqan tersebut dalam sidang paripurna kemarin, maka tugas Pansus XI telah selesai, dan selanjutnya raqan ini menjadi milik bersama yakni eksekutif dan legislatif untuk membahas dan mengesahkannya.

Sementara Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria yang dimintai tanggapannya usai sidang paripurna mengatakan, sebuah raqan, baru bisa dibahas jika kedua belah pihak (eksekutif dan legislatif) setuju dibahas. “Tapi dalam sidang paripurna tadi, dari empat raqan yang akan disampaikan pembahasannya, satu dia ntaranya yaitu raqan wali nanggroe, oleh gubernur pembahasannya minta ditunda dulu.,” ujar dia.

Untuk menyahuti permintaan gubernur itu, kata Sayed, tidak bisa dijawab dengan serta merta oleh pimpinan sidang paripurna atau ketua dan wakil ketua DPRA, tapi harus melalui forum rapat Panmus Dewan. Rapat itu akan dilakukan sore hari dan jika Panmus Dewan menyetujuinya, maka pembahasan raqan wali nanggroe akan ditunda.

Bolos
Sementara itu, puluhan unit kursi anggota dewan kembali terlihat kosong dalam Sidang Paripurna DPRA kemarin. Amatan Serambi, kondisi sepinya sidang paripurna dewan, semakin sering terlihat setelah Pemilu Legislatif April 2009. Dalam dua sidang paripurna yang digelar pascapemilu, jumlah anggota DPRA yang hadir tidak pernah lagi mencapai di atas 70 persen. Rata-rata yang hadir dua kali sidang paripurna berkisar antara 37 sampai 40 orang. Ini artinya, setiap sidang paripurna ada sekitar 20-29 orang anggota Dewan yang bolos.(her)

Pembayaran Proyek Lanjutan 2008 Mengambang

BANDA ACEH - Hingga memasuki bulan ke lima pelaksanaan APBA 2009, Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) ternyata belum membayarkan sisa dana proyek lanjutan tahun 2008. Bila terus berlarut, selain menambah berat beban rekanan, dikhawatirkan juga akan berdampak pada arus perputaran uang di Aceh.

Saat ini, sebagaimana disampaikan Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Aceh, Lukman CM, banyak proyek lanjutan tersebut yang telah selesai dikerjakan. Para rekanan pun mendesak agar sisa dana proyek tersebut segera dibayar. “Akhir tahun lalu, realisasi fisik pekerjaan baru sekitar 50 sampai 60 persen dan uang yang diterima dari SKPA sekitar 45 sampai 50 persen. Bulan ini, sisa pekerjaan itu telah selesai dan mereka minta SKPA membayarnya,” katanya kepada Serambi, Senin (18/5).

Keterlambatan pembayaran tersebut telah menyebabkan utang rekanan kepada pemasok barang menumpuk, bahkan gaji buruh banyak yang belum dibayar. Pemerintah Aceh diakui Lukman, awal tahun lalu sebenarnya telah memberi sinyal akan membayar seluruh proyek lanjutan dimaksud setelah dilakukannya perubahan APBA 2009.

Namun sambungnya, hingga Mei ini, Tim Anggaran Eksekutif Aceh (TAPA) belum juga menyampaikan usulan pembayaran proyek lanjutan APBA 2008 ke dalam perubahan APBA 2009. “Rekanan resah. Apakah sisa pekerjaan itu akan dibayar pada bulan depan atau tidak. Bila tidak, maka beban biaya yang dipikul bertambah besar,” ucap Lukman. Sebagai pembina kontraktor, dia mendesak agar Pemerintah Aceh dapat membantu percepatan perubahan APBA 2009. Dia juga mengkoreksi SKPA yang menyatukan sejumlah paket proyek 2009 sekala kecil dan menengah untuk di lelang kepada pengusaha besar.

Belum bisa dibahas
Ketua Tim Panitia Anggaran (Panggar) DPRA, Marthen Habib, menyambut baik desakan tersebut. Tetapi karena SKPA dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh belum menyampaikan perubahan APBA 2009 yang memuat pembayaran sisa pekerjaan APBA 2008, maka Panggar Dewan belum bisa membahasnya.

Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPRA, Sulaiman Abda, juga mendesak dilakukannya percepatan usulan perubahan APBA 2009. Artinya, sambung dia, semakin cepat TAPA mengajukan perubahan APBA, maka pembayaran sisa pekerjaan APBA 2008 bisa secepatnya dilakukan. “Ini sangat membantu rekanan dan meningkatkan peredaran uang di Aceh pascatutupnya BRR,” ujar Sulaiman Abda.

Sementara itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dalam acara coffe morning bersama wartawan dan kepala SKPA, pekan lalu, mengatakan bahwa daya serap ABPA 2008 sampai akhir tahun lalu sekitar 67 persen sebagai akibat banyaknya proyek yang tak diselesaikan. Karena itu, ia meminta SKPA segera membuat data proyek lanjutan APBA 2008 yang akan dimasukkan ke dalam perubahan APBA 2009.(her)

BPK tidak Berwenang Nyatakan Kerugian Negara

SIGLI- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak berwenang menyatakan kerugian negara terhadap penggunaan dana APBK Pidie melalui pos dana tak tersangka tahun 2002, karena hal itu tidak diatur dalam dalam peraturan negara. Selain itu, penggunaan dana tersebut telah sesuai dengan petunjuk Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2000.

Hal itu, antara lain diungkapkan saksi ahli meringankan terdakwa (saksi adecharge -red) Drs Syahril Mahmud MSi, mantan Direktur Pengelolaan Keuangan Daerah, saat ditanya Majlis Hakim dalam sidang perkara penggunaan dana pos tak tersangka tahun 2002 Rp 7,7 miliar yang menyebabkan kerugian negara Rp 878 juta, Senin (18/5), di Pengadilan Negeri (PN) Sigli Pidie.

Penggunaan dana pos tak tersangka tersebut, diduga melibatkan mantan Bupati Pidie Abdullah Yahya, mantan Wakil Bupati Djalaluddin Harun, dan mantan Sekdakap Imran Usman. Sidang tersebut dipimpin Hakim Ketua Zulfikar SH MH serta dua hakim anggota Teuku Syarafi SH MH dan Toni Irfan SH.

Saksi ahli menguraikan, dalam PP 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang tertuang dalam pasal 12 ayat 2, bahwa pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak tersangka adalah untuk penanganan bencanan alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggara kewenangan pemerintah daerah.

Sekda, katanya, bisa saja mengeluarkan dana sesuai dengan haknya jika memang ada delegasi dari atasannya (bupati -red). Dana tersebut dikeluarkan, baik lewat pos tak tersangka maupun pos lain, demi menutupi kebutuhan daerah. Bagaimana dengan kondisi Aceh ketika itu, tanya Malis Hakim, apakah dana pos tak tersangka bisa digunakan pemerintah? Saksi ahli menjawab, bahwa pada saat itu Aceh dalam bingkai konflik bersenjata, sehingga otomatis dana tersebut bisa digunakan, sejauh kewenangan hak pemerintah ketika itu. Tentunya penggunaan dana yang digunakan itu tetap mengacu pada mekanisme.

“Jadi, dalam pasal 12 ayat 2, selain disebutkan penanganan dana pos tak tersangka untuk bencanan alam dan bencana sosial, juga disebutkan pengeluaran tidak tersangka lainnya. Artinya, penggunaan bukan untuk bencana alam ataupun bencana sosial saja, melainkan cakupan penggunaan dana pos tak tersangka bisa digunakan, sejauh untuk melancarkan pembangunan pemerintah,” katanya di depan majelis hakim, Senin kemarin.

Setelah majelis hakim mendengarkan penjelasan saksi ahli yang meringankan terdakwa, hakim menanyakan kembali pada terdakwa menyangkut keterangan tersebut. Setelah itu, majelis hakim menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) apakah ada saksi lain untuk dihadirkannya. Namun, JPU mengatakan tidak ada saksi lain. Sehingga majelis hakim menutup sidang tersebut. Sidang akan dilanjutkan, Kamis (28/5), dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa.(naz)

DPRK Minta Proyek 2009 Segera Dikerjakan

KUALA SIMPANG – Anggota DPRK meminta Pemkab Aceh Tamiang segera mengerjakan sejumlah proyek APBD 2009 yang telah disahkan dewan bulan Maret lalu. Sebab, jika terlambat dikerjakan kondisi itu dikhawatirkan akan berdampak terhadap penyelesaian proyek tepat waktu dan daya serap anggaran tahun berjalan.

Anggota DPRK Aceh Tamiang, Amrizal kepada Serambi, Senin (18/5) mengatakan, walaupun APBD Aceh Tamiang sudah disahkan APBD pada bulan Maret lalu, namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda proyek tersebut akan dikerjakan. “Kita khawatirjika tender terlambat digelar akan berdampak terhadap pelaksanaan proyek di lapangana ketika memasuki musin penghujan,” ujarnya.

Disamping itu, katanya, keterlambatan tersebut juga berpengaruh terhadap daya serap anggaran tahun berjalan. Untuk itu, Bupati diminta mengevaluasi kinerja sejumlah satker yang terkesan belum siap melakukan tender. “Jangan sampai setelah ditender kondisi hujan menjadi alasan proyek tidak selesai dikerjakan,” ujar Amrizal

Menuru anggota dewan dari PDI-P ini, beberapa waktu lalu pihaknya sudah mempertanyakan kepada eksekutif, terkait lambatnya proses tender. Namun, mereka memberi alasan tender proyek akan dilaksanakan serentak oleh satker di lingkungan Pemkab Tamiang, tetapi sampai saat ini belum dilaksanakan. “Jangan sampai pelaksanaan tender terulang kembali seperti tahun lalu, hingga bulan Mei belum dilaksanakan,” ujarnya.

Kondisi yang sama juga dikhawatirkan anggota dewan lainnya, Khairul. Menurutnya, Pemkab Tamiang harus mempercepat proses pengerjaan proyek tahun 2009, karena pembahasabn APBD-P dapat dibahas setelah diketahui penggunaan anggaran APBD 2009. Disamping itu, saat ini pembahasan APBD telah mengacu pada jadwal nasional, dikhawatirkan jika ketentuan tersebut dilanggar, Aceh Tamiang akan menerima sanksi pengurangan dana alokasi khusus dari pusat.

Terkait pengerjaan proyek, Sekda Aceh Tamiang Is Saipul Anwar mengatakan, saat ini tahap tender proyek dalam proses persiapan. “Atas kesepakatan bersama pelaksanaan tender akan dilaksanakan secara serentak oleh SKPD masing-masing,” ujarnya yang saat dihubungi Serambi mengaku sedang berada di Balik Papan.(md)
LANGSA — Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Rusli Ranto menyatakan tidak tertutup kemungkinan oknum anggota dewan setempat terlibat dalam kasus dana hibah Aceh Timur sebesar Rp 16 miliar. Kasus ini banyak diperbincangkan dan mengakibatkan sejumlah pejabat, termasuk Sekda Aceh Timur Ir Akmal Syukri, diperiksa Kejati NAD.

“Kalau soal itu, tidak tertutup kemungkinan anggota dewan terlibat. Tetapi kita tunggu saja kepastian hasil pemeriksaan tim Kejati. Nantinya semua akan jelas siapa dan bagaimana alur persoalan dimaksud,” kata Rusli Ranto menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus dana hibah, Senin (18/5) di Langsa.

Menututnyaa, DPRK Aceh Timur dalam waktu dekat akan memanggil eksekutif, termasuk SKPD untuk dimintai keterangan. Sementara ketika disinggung apakah keberadaan dana hibah ada dilaporkan kepada dewan, Rusli dengan tegas menyebutkan, dana tersebut tidak dilaporkan sama sekali kepada dewan. Padahal, katanya, setiap sumber dana, baik itu dari APBK maupun dari luar itu setiap kali rapat selalu ditanyakan kepada eksekutif. “Tapi, ini tidak dilaporkan sama sekali. Saya secara institusi terus terang tidak tahu dengan dana hibah itu,” ungkapnya.

Menurut Rusli Ranto, dana hibah persisnya seperti dana ‘gaib’ yang muncul tiba-tiba. Itu pun muncul karena adanya persoalan yang memperburuk citra Pemkab Aceh Timur itu sendiri. Disinggung kemungkinan besar ketertibatan anggota dewan dimaksud, ia mengatakan, “Kita tidak menvonis, saya ketakan kemungkinan saja bisa terlibat. Namun, semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati,” pungkasnya.

Sebelumnya, dari tiga pejabat Aceh Timur yang telah dijadwalkan akan dimintai keterangannya oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, ternyata hanya dua yang hadir, Darmawan M Ali dan Subaliono. Sedangkan, Edi Susanto (mantan bendahara dana bantuan penanganan pascabencana) mangkir terhadap panggilan jaksa.

Seperti diketahui, persoalan dana hibah itu terungkap saat Wabup Aceh Timur, Nasruddin Abubakar melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Inspektorat dan BPKD Aceh Timur, Senin 27 April 2009. Nasruddin meminta agar dana hibah pascabanjir 2008 dari Menkokesra sekitar Rp 16 miliar yang tidak pernah masuk kas daerah, dikembalikan.

Sementara Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dalam konferensi pers di Pendapa Bupati Aceh Timur di Langsa, Selasa (28/4) mengatakan, dana hibah itu tidak masuk dalam rekening pribadi oknum tertentu, melainkan masih tersimpan dalam rekening Pemerintah Daerah di BPD Aceh Cabang Langsa dengan nomor rekening 040.01.02.570.322.5/kegiatan penanganan pascabencana tahap I dan II tahun 2008 sebesar Rp 3.500.000.000 dan Rp 12.500.000.000 yang merupakan rekening khusus milik pemerintah daerah.(is)

Oknum Anggota Dewan Kemungkinan Terlibat

LANGSA — Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Rusli Ranto menyatakan tidak tertutup kemungkinan oknum anggota dewan setempat terlibat dalam kasus dana hibah Aceh Timur sebesar Rp 16 miliar. Kasus ini banyak diperbincangkan dan mengakibatkan sejumlah pejabat, termasuk Sekda Aceh Timur Ir Akmal Syukri, diperiksa Kejati NAD.

“Kalau soal itu, tidak tertutup kemungkinan anggota dewan terlibat. Tetapi kita tunggu saja kepastian hasil pemeriksaan tim Kejati. Nantinya semua akan jelas siapa dan bagaimana alur persoalan dimaksud,” kata Rusli Ranto menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus dana hibah, Senin (18/5) di Langsa.

Menututnyaa, DPRK Aceh Timur dalam waktu dekat akan memanggil eksekutif, termasuk SKPD untuk dimintai keterangan. Sementara ketika disinggung apakah keberadaan dana hibah ada dilaporkan kepada dewan, Rusli dengan tegas menyebutkan, dana tersebut tidak dilaporkan sama sekali kepada dewan. Padahal, katanya, setiap sumber dana, baik itu dari APBK maupun dari luar itu setiap kali rapat selalu ditanyakan kepada eksekutif. “Tapi, ini tidak dilaporkan sama sekali. Saya secara institusi terus terang tidak tahu dengan dana hibah itu,” ungkapnya.

Menurut Rusli Ranto, dana hibah persisnya seperti dana ‘gaib’ yang muncul tiba-tiba. Itu pun muncul karena adanya persoalan yang memperburuk citra Pemkab Aceh Timur itu sendiri. Disinggung kemungkinan besar ketertibatan anggota dewan dimaksud, ia mengatakan, “Kita tidak menvonis, saya ketakan kemungkinan saja bisa terlibat. Namun, semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati,” pungkasnya.

Sebelumnya, dari tiga pejabat Aceh Timur yang telah dijadwalkan akan dimintai keterangannya oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, ternyata hanya dua yang hadir, Darmawan M Ali dan Subaliono. Sedangkan, Edi Susanto (mantan bendahara dana bantuan penanganan pascabencana) mangkir terhadap panggilan jaksa.

Seperti diketahui, persoalan dana hibah itu terungkap saat Wabup Aceh Timur, Nasruddin Abubakar melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Inspektorat dan BPKD Aceh Timur, Senin 27 April 2009. Nasruddin meminta agar dana hibah pascabanjir 2008 dari Menkokesra sekitar Rp 16 miliar yang tidak pernah masuk kas daerah, dikembalikan.

Sementara Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dalam konferensi pers di Pendapa Bupati Aceh Timur di Langsa, Selasa (28/4) mengatakan, dana hibah itu tidak masuk dalam rekening pribadi oknum tertentu, melainkan masih tersimpan dalam rekening Pemerintah Daerah di BPD Aceh Cabang Langsa dengan nomor rekening 040.01.02.570.322.5/kegiatan penanganan pascabencana tahap I dan II tahun 2008 sebesar Rp 3.500.000.000 dan Rp 12.500.000.000 yang merupakan rekening khusus milik pemerintah daerah.(is)

Oknum Anggota Dewan Kemungkinan Terlibat

LANGSA — Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Rusli Ranto menyatakan tidak tertutup kemungkinan oknum anggota dewan setempat terlibat dalam kasus dana hibah Aceh Timur sebesar Rp 16 miliar. Kasus ini banyak diperbincangkan dan mengakibatkan sejumlah pejabat, termasuk Sekda Aceh Timur Ir Akmal Syukri, diperiksa Kejati NAD.

“Kalau soal itu, tidak tertutup kemungkinan anggota dewan terlibat. Tetapi kita tunggu saja kepastian hasil pemeriksaan tim Kejati. Nantinya semua akan jelas siapa dan bagaimana alur persoalan dimaksud,” kata Rusli Ranto menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus dana hibah, Senin (18/5) di Langsa.

Menututnyaa, DPRK Aceh Timur dalam waktu dekat akan memanggil eksekutif, termasuk SKPD untuk dimintai keterangan. Sementara ketika disinggung apakah keberadaan dana hibah ada dilaporkan kepada dewan, Rusli dengan tegas menyebutkan, dana tersebut tidak dilaporkan sama sekali kepada dewan. Padahal, katanya, setiap sumber dana, baik itu dari APBK maupun dari luar itu setiap kali rapat selalu ditanyakan kepada eksekutif. “Tapi, ini tidak dilaporkan sama sekali. Saya secara institusi terus terang tidak tahu dengan dana hibah itu,” ungkapnya.

Menurut Rusli Ranto, dana hibah persisnya seperti dana ‘gaib’ yang muncul tiba-tiba. Itu pun muncul karena adanya persoalan yang memperburuk citra Pemkab Aceh Timur itu sendiri. Disinggung kemungkinan besar ketertibatan anggota dewan dimaksud, ia mengatakan, “Kita tidak menvonis, saya ketakan kemungkinan saja bisa terlibat. Namun, semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati,” pungkasnya.

Sebelumnya, dari tiga pejabat Aceh Timur yang telah dijadwalkan akan dimintai keterangannya oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, ternyata hanya dua yang hadir, Darmawan M Ali dan Subaliono. Sedangkan, Edi Susanto (mantan bendahara dana bantuan penanganan pascabencana) mangkir terhadap panggilan jaksa.

Seperti diketahui, persoalan dana hibah itu terungkap saat Wabup Aceh Timur, Nasruddin Abubakar melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Inspektorat dan BPKD Aceh Timur, Senin 27 April 2009. Nasruddin meminta agar dana hibah pascabanjir 2008 dari Menkokesra sekitar Rp 16 miliar yang tidak pernah masuk kas daerah, dikembalikan.

Sementara Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dalam konferensi pers di Pendapa Bupati Aceh Timur di Langsa, Selasa (28/4) mengatakan, dana hibah itu tidak masuk dalam rekening pribadi oknum tertentu, melainkan masih tersimpan dalam rekening Pemerintah Daerah di BPD Aceh Cabang Langsa dengan nomor rekening 040.01.02.570.322.5/kegiatan penanganan pascabencana tahap I dan II tahun 2008 sebesar Rp 3.500.000.000 dan Rp 12.500.000.000 yang merupakan rekening khusus milik pemerintah daerah.(is)

Senin, 18 Mei 2009

Bendahara Umum Daerah Diperiksa BPK

LHOKSUKON - Polda Metro Jaya dilaporkan masih melakukan pengembangan kasus bobolnya rekening Pemkab Aceh Utara di Bank Mandiri Jelambar, Jakarta Barat yang menyebabkan dana Rp 20 miliar berpindah tangan. Pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh disebut-sebut telah memeriksa sejumlah staf Bendahara Umum Daerah (BUD) Setda Aceh Utara. Hingga Sabtu (16/5), belum ada tersangka baru selain mantan Pimpinan Cabang Bank Mandiri Jelambar dan seorang wanita berinisial Lis. Wanita itu disebut-sebut punya hubungan dengan oknum pejabat Aceh Utara. Namun informasi tersebut secara tegas dibantah

oleh Kuasa Hukum Pemkab Aceh Utara, Jafaruddin SH. “Wanita berinisial Lis itu tak ada hubungannya dengan pejabat Pemkab Aceh Utara. Saya sudah tanya ke kuasa hukumnya, katanya dia tak kenal dengan pejabat Aceh Utara,” tandas Jafaruddin. Ditanya perkembangan pemeriksaan kasus itu, Jafaruddin mengatakan, menurut informasi yang diperolehnya, hingga Sabtu kemarin tersangka yang ditahan masih tetap dua orang, sedangkan lainnya masih dalam pengembangan polisi. “Sebab hari ini libur, makanya belum ada info baru. Mungkin hari Senin depan sudah ada perkembangan baru,” kata Jafaruddin.

Mengenai tersangka berinisial Lis, menurut Jafaruddin, pihaknya belum bertemu langsung dengan wanita itu karena masih dalam pemeriksaan intensif oleh pihak kepolisian. Selain membantah tentang hubungan Lis dengan pejabat Aceh Utara, Jafaruddin juga membantah SMS yang bereda di Aceh Utara dan Lhokseumawe, bahwa kemarin ada pejabat penting Aceh Utara yang ditangkap di Jakarta terkait bobolnya rekening senilai Rp 20 miliar itu. SMS tersebut beredar dari satu ponsel ke ponsel lainnya.

Menurut Jafaruddin, sebagai kuasa hukum Pemkab Aceh Utara, dia tahu persis, hingga pukul 18.00 WIB, Sabtu (16/5), belum ada seorang pun pejabat Aceh Utara dan masyarakat Aceh Utara ditangkap Polda Metro Jaya dalam kasus bobolnya rekening Pemkab Aceh Utara di Bank Mandiri Jelambar. “Kalau ada berita atau isu yang beredar lewat SMS, berarti sengaja diciptakan oknum secara iseng-iseng untuk menjatuhkan seseorang,” tukasnya.

Diperiksa BPK
Sumber lainnya di Kabupaten Aceh Utara mengungkapkan, sehubungan dengan bobolnya rekening pemerintah daerah di Bank Mandiri Cabang Jelambar, tim Badan Pemeriksaan Keuangan Daerah (BPK) Perwakilan Aceh telah memeriksa beberapa staf BUD. Menurut sumber tersebut, tim BPK sejak pertengahan April lalu telah berada di Lhokseumawe, melakukan pemeriksaan kuasa BUD sejumlah dinas.

Bahkan, awal Mei lalu, BPK ikut memeriksa keberadaan uang kas daerah yang dialihkan ke Bank Mandiri di Jakarta Barat. Dalam pemeriksaan itu, pada 1 Mei 2009 dana Rp 220 miliar masih utuh di Bank Mandiri. Namun, secara tiba-tiba tim BPK dikejutkan dengan adanya pemberitaan di media massa tentang hilangnya uang Rp 20 miliar tersebut. Akhirnya, tim memeriksa kembali kuasa keuangan daerah. “Tapi, kalau di daerah tidak ada masalah, hanya kejanggalan itu terjadi di Jakarta sana,” ujar sumber itu. Hingga tadi malam Serambi belum mendapatkan konfirmasi dari pihak BPK tentang sejauh mana kebenaran laporan yang menyebutka BPK sudah memeriksa BUD Setdakab Aceh Utara terkait bobol dana Rp 20 miliar.

Bentuk pansus
Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe/Aceh Utara mendesak DPRK Aceh Utara membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelusuri kasus bobol kas daerah senilai Rp 20 miliar itu. “Walaupun kasus ini ditangani Polda Metro Jaya, DPRK Aceh Utara juga harus bertanggung jawab dengan uang rakyat yang sudah hilang itu. DPRK harus punya nyali sebagai lembaga pengawas,” tulis Ketua Umum HMI Cabang Lhokseumawe-Aceh Utara, Armia dalam siaran pers yang diterima Serambi, Sabtu. Pengurus HMI juga meminta Pemkab Aceh Utara agar segera mengambil uang yang didepositokan di Jakarta dan megembalikan ke bank di daerah.(ib/saf)

Jumat, 15 Mei 2009

Cetak Sawah Baru Semua Bermasalah


BANDA ACEH - Laporan permasalahan proyek cetak sawah baru ternyata bukan sebatas di Aceh Barat Daya (Abdya) melainkan merata di semua lokasi proyek 2008, yaitu di sembilan kabupaten/kota. “Ada sembilan paket proyek cetak sawah baru dengan sumber dana APBA 2008. Namun sampai akhir Desember 2008 belum satu pun yang selesai dikerjakan kontraktornya,” ungkap Koordinator Lapangan Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), Tgk H Abdullah Madyah kepada Serambi, Rabu (13/5).

Menurut Abdullah, informasi itu diterima tim TAKPA dari Ir T Azharsyah selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek cetak sawah baru Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh. Mengutip penjelasan T Azharsyah kepada tim TAKPA, pada 2008, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, melaksanakan sembilan paket proyek pencetakan sawah baru. Target sawah baru yang akan dicetak mencapai 1.475 hektare dengan pagu anggaran Rp 10,734 miliar.

Proyek ini tersebar di sembilan kabupaten, yaitu Pidie 180 hektare (pagu anggaran Rp 11,97 miliar) Bireuen 200 hektare (Rp 1,330 miliar), Aceh Timur 150 hektare (Rp 997 juta), Aceh Barat 116 hektare (Rp 771,4 juta), Nagan Raya 110 hektare (Rp 731 juta), Aceh Barat Daya Rp 324 hektare (Rp 2,154 miliar), Aceh Singkil 200 hektare (Rp 1,9 miliar), Subulussalam 125 hektara (Rp 1,187 miliar), dan Aceh Jaya 70 hektare (Rp 465,5 juta).

Dari sembilan paket proyek cetak sawah baru tersebut, menurut Azharsyah, satu paket di antaranya yaitu di Aceh Jaya, batal dilaksanakan. Tapi anehnya, dalam laporan evaluasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh yang diperlihatkan kepada TAKPA, untuk paket proyek (Aceh Jaya) sudah ada realisasi fisik dan keuangannya masing-masing 40 persen. “Menurut T Azharsyah, terjadi kesalahan isi data. Yang benarnya proyek tersebut belum dikerjakan,” ujar Abdullah Madyah mengutip pengakuan Azharsyah.

Realisasi fisik proyek cetak sawah baru yang telah dilaksanakan berdasarkan evaluasi Distan Aceh sekitar 50-70 persen. Sedangkan realisasi keuangan antara 35-54 persen. Mengenai sejauh mana kebenaran data itu, pihak TAKPA akan mempertanyakan kepada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh.

Sawah baru Abdya
Mengenai persoalan proyek cetak sawah baru di Abdya, Azharsyah membenarkan informasi yang disiarkan koran ini bahwa proyek cetak sawah baru di Gampong Pante Cermin, Kecamatan Babahrot belum selesai dilaksanakan kontraktornya, PT Jabal Qubis Banda Aceh. Menurut Azharsyah, luas areal yang baru selesai dikerjakan sekitar 71 hektare dari 190 hektar yang telah ditebas semak belukar dan penebangan batang kayu di atas lahan yang akan dijadikan sawah.

Untuk menyelesaikan sisa pekerjaan itu, kontraktornya, Salahuddin (atas nama PT Jabal Qubis), telah membuat perjanjian tertulis dengan Dinas Pertanian Provinsi dan Abdya. Dalam surat perjanjian yang dibuat 1 Januari 2009, rekanan menyatakan siap menyelesaikan pekerjaan cetak sawah baru di Pante Cermin, Kecamatan Babahrot. Apabila tidak dikerjakan, bersedia ditindak sesuai ketentuan hukum. Anehnya, surat perjanjian yang dibuat Salahuddin dengan kuasa pengguna anggaran (KPA) serta Kadis Pertanian Abdya, menurut TAKPA tidak membuat batas waktu penyelesaian pekerjaan. Akibatnya, sampai bulan Mei 2009 ini, pihak kontraktor belum memenuhi janjinya untuk menyelesaikan sisa pekerjaan. Proyek cetak sawah baru yang belum selesai itu, menurut T Azharsyah, akan diluncurkan pada tahun anggaran 2009.

Dana disediakan lagi
Menurut perkiraan, persoalan serupa akan terjadi lagi pada proyek cetak sawah baru tahun 2009. Pihak TAKPA mencontohkan, dalam APBA 2009 untuk Aceh Tengah dialokasikan anggaran Rp 950 juta untuk cetak sawah baru seluas 100 hektare. Informasi dari T Azharsyah menyebutkan, SID (survey investigation design) dan DED (detail engineering design)-nya belum dibuat tetapi akan menggunakan SID lama yang diperbaharui dengan biaya Rp 15 juta, pengawasan Rp 28,5 juta, dan lainnya Rp 6,5 juta.

Koordinator Lapangan TAKPA, Abdullah Madyah mempertanyakan, jika sampai bulan ini SID dan DED-nya belum dibuat, kapan proyeknya bisa selesai dikerjakan. Padahal, katanya, sembilan paket proyek cetak sawah baru tahun 2008 yang bermasalah itu, SID/DED-nya telah dibuat tahun 2006 melalui sumber dana APBN. “Meski sudah dua tahun SID-nya dibuat, tetapi proyek fisiknya tetap saja tak selesai dengan alasan jadwal kerja yang diberikan KPA Proyek sangat terbatas, hanya tiga bulan (September-Desember 2008),” tandas Abdullah. Seharusnya, lanjut Abdullah Madyah, jika batas waktu kerja yang diberikan tidak cukup, rekanan jangan mau menerima pekerjaan sebelum ada kebijakan penambahan waktu.

Harus tanggung jawab
Petani pemilik lahan cetak sawah baru di Dusun Simpang Gadeng dan Dusun Mata Ie, Desa Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Abdya menuntut pelaksana proyek dan konsultan perencana bertanggungjawab terhadap kondisi sekitar 71 hektare lahan yang berantakan dan rusak akibat pekerjaan asal-asalan.

Tuntutan tersebut disampaikan Kepala Dusun Mata Ie Jaya, Abdul Muis dan Kepala Dusun Simpang Gadeng, Nasruddin menanggapi persoalan cetak sawah baru di wilayah tersebut. “Kontraktor dan konsultan perencana harus bertanggungjawab terhadap munculnya persoalan ini,” tandas Abdul Muis dibenarkan Nasruddin kepada Serambi, Rabu (13/5).

Ongkos tak dibayar
Selain menelantarkan pekerjaan, menurut Abdul Muis, kontraktor juga tidak membayar ongkos kerja kepada masyarakat. Seperti ongkos jaga alat berat Rp 3 juta lebih dan ongkos pembuatan pematang sekitar Rp 5 juta. Di samping itu, pelaksana proyek juga ingkar janji karena tidak memperbaiki kerusakan dinding pengaman jembatan yang menghubungkan Dusun Simpang Gedeng ke Dusun Mata Ie Jaya (rumoh seureutoh) dan gorong-gorong yang rusak akibat dilintasi alat berat pelaksana proyek.

Seperti diberitakan, proyek cetak sawah baru di Gampong Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Abdya dinilai seperti proyek asal-asalan sehingga petani menolak menerima proyek yang menguras dana miliaran rupiah dari sumber APBA 2008 tersebut. Menurut laporan yang diterima Serambi, selain terkesan asal-asalan, proyek itu juga diduga menyimpang dari kontrak sehingga petani menolak menerima. “Akibat proyek itu, lahan justru berantakan dan rusak,” lapor petani.(her/nun)

Fenomena Studi Banding Dewan


TRAS UTAMA: “Untuk melihat kemajuan dan mendapatkan berbagai masukan secara langsung guna diterapkan di Aceh!” Itulah alasan yang sering mengemuka ketika masyarakat bertanya-tanya apa sesungguhnya motif anggota dewan melakukan pelesiran hingga ke luar negeri. Diprotes atau tidak, studi banding jalan terus. Bahkan anggota DPRA nekat menganggarkan dana miliaran rupiah tahun ini untuk melakukan studi banding hingga ke Eropa? DPRK Banda Aceh pun tidak ketinggalan. Sekadar berfoya-foya atau memang ada manfaat nyata?

TRAS KHUSUS: Sungguh ironis, 39 persen rumah tangga di Kota Lhokseumawe dikategorikan miskin secara nasional. Yang membuat penasaran, ke mana dibawa uang bagi hasil minyak bumi dan gas alam yang sudah dikeruk dari perut Kota Lhokseumawe sejak puluhan tahun silam? Benarkah kekayaan kota berjulukan “Petro Dolar” itu hanya dinikmati segelintir orang? Kontras mengupasnya.

BUNGONG JAROE: Eropa tak hanya kaya akan keindahan arsitektur bangunan dan tata kotanya. Seperti halnya Aceh, cerita rakyat, legenda, tahyul, atau mitos juga melimpah ruah. Sebagiannya menjadi sejarah. Kisahnya banyak yang berkaitan dengan sisi gelap peradaban manusia.

SELISIK: Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) baru saja berakhir beberapa pekan lalu, namun ada pihak yang menduga UN kali ini sarat dengan kecurangan yang terorganisir, sistimatis, dan dikomandoi mulai dari dinas tingkat provinsi hingga kabupaten dan melibatkan guru sekolah di beberapa kabupaten. Separah itu kah?

Mantan Bupati Bireuen Jadi Tersangka Lagi

BIREUEN – Mantan Bupati Bireuen, Mustafa A Glanggang, Senin (11/5), kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kas bon jilid II. Kepastian tersebut diperoleh setelah Mustafa menjalani pemeriksaan selama delapan jam di Mapolres Bireuen pada hari yang sama. Kapolres Bireuen, AKBP T Saladin SH kepada Serambi, Kamis (14/5) mengatakan, setelah memanggil puluhan saksi selama beberapa bulan lalu polisi akhirnya menetapkan mantan Bupati Bireuen, Mustafa A Glanggang menjadi tersangka dalam kasus kas bon jilid II.

“Setelah kita panggil beberapa kali dan hasil pemeriksaan selama delapan jam pada Senin (11/5), Mustafa A Glanggang resmi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan pelanggaran penggunaan anggaran negara sewaktu masih bertugas,” kata Kapolres didampingi Kasat Reskrim, AKP Trisna Safari.

Sebelumnya, dalam kasus kas bon jilid pertama yang diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, 23 Februari 2009, Mustafa dihukum satu tahun penjara dengan hukaman percobaan dua tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta, uang pengganti Rp 510 juta dan uang Rp 1 miliar lebih dikembalikan ke kas daerah.

Menurut Kapolres, kasus kas bon jilid dua yang mulai diperiksa awal Oktober 2008 dan telah memeriksa 35 saksi dari berbagai kalangan mulai dari PNS, pengusaha, dan tokoh masyarakat. Selain itu, polisi juga menemukan barang bukti berupa tanda penerimaan uang melalui kas bon yang seluruhnya bernilai Rp 8 miliar lebih dan tanda bukti pengembalian dana kas bon sejumlah Rp 3 miliar lebih dalam beberapa tahap oleh tersangka.

“Kita dapatkan barang bukti berupa print out komputer, kuitansi, dan realisasi APBK Bireuen selama 2002-2008,” kata Kapolres seraya menyatakan dengan telah dilunasi sebagian, kerugian negara dalam kasus tersebut diperkirakan sekitar Rp 4 miliar. Dikatakan, Mustafa ditetapkan sebagai tersangka karena berdasarka hasil penyelidikan pihaknya dalam penarikan kas daerah ditemukan kejanggalan yaitu penarikan uang yang tidak melalui mekanisme resmi atau mengajukan SPP dan SPUM.

“Kuat dugaan berdasarkan hasil print out, penarikan uang walaupun dilakukan pihak lain atas permintaannya dilakukan tak melalui jalur resmi sebagaimana aturan bidang keuangan. Penarikan tanpa melalui prosedur adalah perbuatan melanggar hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara,” timpalnya.

Ditanya apakah ada kemungkinan tersangka akan bertambah, Kapolres mengatakan, sangat mungkin adanya tersangka lain yang terus dibidik yang kemungkinan orang dil uar jajaran Pemkab. “Sepertinya mengarah ke orang di luar Pemkab Bireuen. Tapi, kita akan terus dalami dan periksa,” kata Kapolres menambahkan dua orang saksi ahli dan saksi meringankan belum dimintai keterangan oleh pihaknya.

Saat ini, tambah Kapolres, pihaknya sedang mekengkapi berkas hasil pemeriksaan untuk diajukan ke Kejaksaaan Negeri (Kejari) Bireuen dan tersangka tidak ditahan. Tidak ditahannya tersangka, menurut Kapolres, karena semua barang bukti sudah ada dan tersangka sangat kooproratif dimana kapan dipanggil, ia selalu datang. “Ia (tersangka-red) tidak ditahan, tapi diwajibkan melapor seminggu dua kali ke Polres Bireuen sebelum berkasnya diajukan ke kejaksaan. Kalau berada di Banda Aceh, maka yang bersangkutan harus melapor ke Reskrim Polda Aceh,” jelas T Saladin.(yus)

Kamis, 14 Mei 2009

TAKPA Temukan Lagi 2 Kontraktor Nakal:

BANDA ACEH - Pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam mencairkan uang muka kerja (UMK) bagi para kontraktor yang akan mengerjakan proyek-proyek fisik di lingkup instansinya. Sebab, jika tidak maka bukan tidak mungkin, apa yang sekarang dialami Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, juga akan menimpa instansi-instansi lainnya di lingkungan Pemerintahan Aceh.

Ketua Tim Anti-Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), Ridwan Muhammad, mengatakan bahwa dua rekanan Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh yang memenangkan tender proyek APBA 2008 lalu, melarikan UMK proyek sebesar Rp 2,6 miliar yang baru dicairkannya. “Kedua perusahaan itu menarik uang muka masing-masing Rp 1,2 miliar pada 22 September 2008, dan Rp 1,4 miliar pada pada 12 Oktober 2008 lalu. Tapi, proyeknya dibiarkan terbengkalai,” katanya kepada Serambi, di Banda Aceh, Senin (11/5).

Didampingi, Koordinator Lapangan TAKPA Tgk H Abdullah Madyah, Ridwan mengungkapkan bahwa hal itu ketahui pihaknya dari laporan yang disampaikan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh Ir Sofyan, kepada Gubernur Irwandi Yusuf, pada 22 April lalu. “Dari sejumlah proyek fisik APBA 2008 yang dilaksanakannya, ada beberapa proyek yang sampai bulan April 2009 lalu belum selesai dikerjakan oleh kontraktornya. Di antaranya, proyek penyiapan prasarana dan sarana permukiman transmigrasi untuk 100 KK di Lango, Aceh Barat dengan nilai Rp 7,14 miliar,” katanya.

Dijelaskan, dari nilai kontrak tersebut, kontraktornya PT Galih Medan Persada telah menarik uang muka sebesar 20 persen atau senilai Rp 1,4 miliar. Namun sampai, 31 Maret 2009 lalu, realisasi fisik proyeknya baru mencapai 6,5 persen. Sedangkan surat perjanjian pemborongannya telah dikeluarkan 20 Agustus 2008 lalu. “Ini artinya masa kerja, 31 Desember 2008 lalu sudah terlampui tiga bulan, tapi proyek yang diborong belum juga selesai dikerjakan,” sebut Ridwan Muhammad.

Menurutnya, kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Nagan Raya. Proyek penyiapan prasarana dan sarana permukiman bagi 100 KK transmigran di Beutong Ateuh, Nagan Raya, dengan nilai proyek Rp 6,3 miliar, hingga kini juga terbengkalai karena tidak diselesaikan oleh kontraktornya PT Kemasa. “UMK yang telah ditarik Rp 1,2 miliar atau 20 persen dari total nilai proyek. Tapi realisasi fisik proyeknya sampai 31 Maret lalu baru 1 persen, sedangkan surat perjanjian pemborongan telah dikeluarkan 15 Agustus 2008 lalu,” ujarnya.

Tempuh jalur hukum
Sementara itu, menurut Koordinator Lapangan TAKPA Tgk H Abdullah Madyah, berdasarkan hasil pengecekan lapangan oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), seperti dilaporkan Kadis Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk kepada Gubernur Aceh, kedua kontraktor yang memborong kedua proyek tersebut telah meninggalkan lokasi pekerjaannya. “Jadi, untuk mencegah kerugian keuangan daerah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan PPTK dari kedua proyek tersebut, kita harapkan dapat menempuh jalur hukum,” kata Abdullah Madyah.

Menurut Abdullah Madyah, motif melarikan uang tanpa melanjutkan pekerjaan proyeknya, kerap dilakukan oleh orang-orang yang suka meminjam perusahaan orang lain untuk mendapat pekerjaannya. Kasus ini, katanya, pernah dialami BRR, dua tahun lalu seperti itu, pelakunya bukan pemilik perusahaan, melainkan peminjam perusahaan. “Ini perlu menjadi pelajaran bagi pengusaha di Aceh, agar jangan suka meminjamkan perusahannya kepada orang yang tidak punya modal dan peralatan kerja,” katanya.

Sebelum kasus ini terjadi, kata Abdullah Madyah, jauh hari sebelum TAKPA, telah mengingatkan SKPA yang melakukan tender proyek APBA 2008 untuk lebih berhati-hati lagi dalam memilih dan menetapkan pemenang proyek APBA 2008. “Karena dari hasil pengalaman BRR, jumlah proyek yang berkinerja buruk yang kemudian terpaksa di-black list cukup banyak, mencapai ratusan perusahaan baik kecil maupun perusahaan besar,” pungkasnya.(her)

Anggota Dewan Akan Berhadapan dengan Hukum

LANGSA - Para anggota DPR kabupaten/kota yang belum mengembalikan dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) ke kas masing-masing daerah secara utuh, terancam akan berhadapan dengan hukum. “Hal itu diatur dalam surat Menteri Dalam Negeri yang ditandatangani H Mardiyanto dan ditujukan kepada masing-masing Gubernur seluruh Indonesia. Karena itu kita berharap para anggota DPRK Aceh Timur tidak main-main dalam persoalan ini,” ujar Ketua Badan Pekerja Gerakan Solidaritas untuk Aceh Timur (GaSAT), Salamuddin kepada Serambi Rabu (13/5).

Dalam surat itu, Mendagri menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan reguler Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri di lingkungan pemerintah provinsi dan laporan dari sejumlah inspektorat provinsi ditemukan adanya tunggakan pengembalian tunjangan komunikasi intensif dan biaya penunjang operasional (BPO) untuk pimpinan dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode masa bakti 2004-2009.

Dalam surat itu pula, Mendagri meminta perhatian semua gubernur se-Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis dan mengupayakan pengembalian dana TKI termasuk tunggakan keuangan lainnya. “Pada poin ketiga surat tersebut, Mendagri menyatakan, apabila sampai batas waktu yang ditetapkan dalam PP N0 21 Tahun 2007 dan Pepmendagri N0 21 Tahun 2007, pimpinan dan anggota DPRD terkait yang belum juga melunasi penyelesaiannya dilimpahkan kepada aparat penegak hukum,” ujar Salamuddin.

Informasi yang dihimpun Serambi, hingga saat ini sebanyak 29 dari 30 anggota DPRK Aceh Timur belum mengembalikan dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) ke kas daerah setempat secara utuh. Padahal masa tugas mereka akan segera berakhir pada Agustus 2009 mendatang. Dari sejumlah nama anggota dewan yang belum melunasi TKI itu, dipastikan tidak terpilih lagi menjadi anggota dewan pada Pemilu legislatif 9 April 2009, sehingga dikhawatirkan dana itu akan ikut “terbang” bersama dengan keluarnya mereka dari gedung dewan.

Cicilan
Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRK Aceh Timur, Drs Burhanuddin MM yang dikonfirmasi Serambi siang kemarin mengatakan, hingga kemarin baru satu orang anggota dewan yakni Tgk Ismuha dari Fraksi PKS yang sudah mengembalikan dana TKI. Sedangkan 29 anggota dewan lainnya masih dalam proses pengembalian dengan cara mencicil. “Mereka sedang mencicilnya. Hanya anggota dewan PKS yang sudah mengembalikan secara utuh,” ujarnya.

Anggota DPRK dari PKS, Tgk Ismuha yang ditemui Serambi di gedung DPRK Aceh Timur di Langsa, mengakui dirinya sudah mengembalikan dana TKI dimaksud. “Kami langsung mengembalikannya ketika itu, masih untung juga sekarang tidak perlu pusing-pusing untuk membayar utang,” katanya.(is)