Senin, 03 Agustus 2009

BPK Mulai Audit Anggaran Pemilu

JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai melakukan audit Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait anggaran penyelenggaraan pemilu tahun 2009.

"BPK di sini itu karena ada pemeriksaan, audit anggaran. Biasa, setiap tahun, pada bulan-bulan seperti ini kan setiap departemen diaudit," kata Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, di Kantor KPU, Jakarta, Senin (3/8).

Menurut Hafiz, audit anggaran KPU dilakukan selama 40 hari ke depan, termasuk untuk KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi. Adapun tim yang mengaudit laporan keuangan KPU berjumlah sekitar 60 orang. Saat ini, audit tengah berlangsung dan dilakukan secara tertutup di ruang rapat lantai 1, Gedung KPU, Jakarta.

Rabu, 15 Juli 2009

BPK 15 Negara Berkumpul Bahas Pencucian Uang dan Korupsi

Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan Rl menjadi tuan rumah pertemuan ke-3 lntemational Organization of Supreme Audit lnstitutions (INTOSAI) Working Group on Fight Against lntemational Money Laundering and Corruption (WG on FAIMLAC), pada 15-16 Juli 2009.

Acara ini merupakan kelanjutan dari pertemuan ke-2 INTOSAI WG an FAIMLAC di Kairo, Mesir, tahun lalu. Pertemuan itu membahas pencegahan, pemberantasan, serta penegakan hukum dalam upaya melawan pencucian uang lntemasional dan korupsi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang dan negara maju saat ini.

Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan lembaga pemeriksa dar1 15 negara, yaitu Colombia, Equador, Jerman, lndonesia, Lesotho, Mesir, Mexico, UK, USA, Peru, Papua New Guinea, dan Rusia, serta 3 negara yang bertindak sebagai observer, yaitu Malaysia, lrak, dan Polandia.

Pertemuan dipimpin oleh Ketua BPK Rl, Anwar Nasution, dan Ketua BPK Mesir yang sekaligus menjabat Ketua WG on FAIMLAC, Mohammed Gawdat Ahmed EI-Malt.

Anwar mengatakan, pertemuan ini untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan metodologi untuk meningkatkan pandangan terhadap dana sektor publik dan entitas sebagai bagian dari upaya memerangi pencucian uang internasional dan korupsi.

"Pemberantasan pencucian uang dan korupsi memerlukan strategi yang tepat oleh masing-masing negara. Hal ini diyakini terkait dengan penyebaran pemahaman tentang pencucian uang dan korupsi sebagai musuh bersama dan bagian dan kompleksitas kejahatan transnasional," katanya di JW Marriot, Jakarta, Rabu (15/7/2009).

Ia mengatakan, peran setiap lembaga pemeriksa untuk melawan pencucian uang dan korupsi tergantung pada mandat audit serta tanggung jawab masing-masing lembaga.

Menurutnya, sudah menjadi wewenang setiap lembaga untuk menemukan langkah dan strategi yang tepat dalam memerangi pencucian uang dan korupsi disesuaikan dengan mandatnya masing-masing.
Sesuai mandatnya, lembaga pemeriksa memiliki peran penting dalam melakukan pemeriksaan atas sektor publik dan melakukan pendalaman atas dugaan penyimpangan keuangan negara juga memberi saran pada pembangunan sistem keuangan negara.

Juga melaporkan kepada pihak berwenang apabila mendeteksi adanya tindak pencucian uang, dugaan korupsi dan penyimpangan keuangan negara pada saat pemeriksaan, memberi saran kepada pemenntah untuk mengintegrasikan pendanaan, pelatihan, dan bantuan teknis guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia untuk memerangi teroris keuangan.

Selain itu, lembaga pemeriksa keuangan juga harus bisa memberi saran pada masalah kebijakan dan peraturan mengenai anti pencucian uang dan korupsi serta penyimpangan keuangan negara dan ambil bagian dalam peningkatan kesadaran dan inisiatif pelatihan berdasarkan standar internasional dan praktik-praktik terbaik.

Badan Pemeriksa Keuangan Rl mengambil enam bentuk inisiatif untuk mempercepat reformasi fiskal sebagai langkah strategis melawan korupsi di lndonesia, yaitu pertama, mewajibkan semua terperiksa menyerahkan Management Representative Letter.

Kedua, mendorong perwujudan sistem pembukuan keuangan negara yang terpadu. Ketiga, meminta terperiksa untuk menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini atas laporan keuangan. Rencana aksi itu meliputi perbaikan sistem keuangan negara, teknologi informasi, dan sumber daya manusia pengelola keuangan negara.

Keempaat, menyarankan kepada pemerintah untukmenggunakan tenaga kerja yang berpendidikan akuntansi guna mengatasi kelangkaan SDM.

Kelima, mendorong perombakan struktural Badan Layanan Umum, BUMN dan BUMD agar lebih mandiri dan korporatis, dan keenam, menyarankan kepada lembaga perwakilan untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP).

Task Force on the FAIMLAC dibentuk oleh Governing Board INTOSAI pada Maret 2003 berdasarkan keputusan Kongres INTOSAI XVll di Seoul, Oktober 2001. Pada November 2007, Kongres INTOSAI menyetujui perubahan status Task Force menjadi Working Group,

Kelompok kerja ini memiliki tiga tujuan strategis, yaitu mempromosikan kerjasama internasional, baik antar sesama lembaga pemeriksa maupun dengan organisasi lainnya dalam rangka memerangi money laundering and corruption, identifikasi kebijakan dan strategi untuk memerangi money laundering and corruption dengan kompetensi dan tanggung jawab lembaga pemeriksa, serta mendesain dan mempromosikan kebijakan, strategi, dan aksi dalam bingkai kerja anti money laundering and corruption setiap lembaga pemeriksa.

(ang/lih)

Rabu, 10 Juni 2009

KPK: Kalau Periksa Medis Gratis Tak Ada Aturan, Itu Bisa Gratifikasi

Jakarta - Fasilitas medis gratis yang diterima pejabat instansi pemerintah bisa dikategorikan gratifikasi bila tak ada aturan yang menaunginya. Kalau tak ada, fasilitas itu bisa termasuk gratifikasi dan harus dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)."Kalau itu sudah diatur dalam suatu aturan, ya bukan. Seperti ada Permen (Peraturan Menteri) atau Perpres (Peraturan Presiden) instansinya bahwa pejabat ini mendapatkan fasilitas. Kalau tidak ada aturannya itu pemberian, ya bisa dianggap gratifikasi," ujar Wakil Ketua KPK M Jasin kepada detikcom, Rabu (10/6/2009).Jasin menyatakan hal itu saat ditanya tentang pengumuman medical check up dan papsmear gratis RS Omni International Alam Sutera untuk pegawai di lingkungan Kejari Tangerang. Kegiatan periksa medis tanpa bayar ini dilakukan 18 Mei.Jasin mencontohkan, seperti adanya ketentuan walikota, gubernur atau menteri bahwa untuk pejabat bereselon 1 atau 2 mendapatkan fasilitas tertentu, seperti kesehatan atau mobil dinas. Dan ketentuan itu harus sepengetahuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)."Ini harus disetujui anggota DPR karena yang memantau pelaksanaan dari kebijakan. Kalau di daerah ya DPRD, di pusat ya DPR. Karena DPR yang punya fungsi pengawasan, perundang-undangan dan fungsi anggaran," imbuhnya.Jika tidak ada aturan, tidak sepengetahuan atau tidak dengan persetujuan anggota Dewan, plus berlawanan dengan kewajibannya sebagai pejabat instansi publik, maka bisa dikategorikan gratifikasi."Di eksekutif, baik Kejaksaan atau di mana pun juga instansinya harus sepengetahuan DPR. Kalau hanya di lingkungan terbatas tertentu dan tidak ada aturan, ada indikasi bertentangan dengan kewajiban maka itu gratifikasi. Dan harus dilaporkan pada KPK," jelas Jasin.

Abu Nawas dan Korupsi

ABU Nawas, tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair, yang hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M), suatu hari diminta khalifah datang ke istana untuk membantu memecahkan masalah pelik yang sedang dihadapi sang raja. Rumors yang beredar, banyak para menteri yang terlibat melakukan praktik korupsi. Loyalitas mereka kepada sang raja dilatarbelakangi kepentingan ekonomi. Sultan resah, dan tidak mau kerajaan yang dipimpinnya dihuni para pembantu yang mengincar uang negara. Ia juga tidak ingin dikelilingi para pembantu yang bermental khianat.Pada hari yang sudah ditentukan, datanglah Abu Nawas menghadap sang raja. Namun ketika berada dipintu gerbang kerjaan, ia dicegat oleh penjaga. “Mau kemana?’ tanya penjaga dengan seram. “Menghadap Sultan,” jawab Abu Nawas. “Tidak bisa! Sultan sedang sibuk,”jawab penjaga ketus. “Tolong carikan jalannya, pokoknya tahu beres.” “Ada, ada, jalan selalu ada,” sahut sang penjaga dengan mata berkilat-kilat gembira, “Asalkan engkau ada kebijaksanaan kepadaku.” “Oh, soal itu jangan khawatir, saya datang mau minta hadiah dari Sultan,” kata Abu Nawas. “Nah, itulah maksudku, asal tahu sama tahu,”sambung penjaga dengan cepat dan gembira. “Aku sudah cukup kaya, dan hadiah itu akan aku berikan semua kepadamu,” balas Abu Nawas. Maka dengan sikap hormat sambil membungkuk, sang penjaga mempersilahkan Abu Nawas masuk. Di dalam istana, Sultan sedang mengadakan pertemuan dengan para menteri. Begitu menerima laporan bahwa Abu Nawas datang, Sultan tampak gembira. Karena memang dia sudah menunggunya. “Masih tetapkah pendirianmu bahwa engkau bisa mengatasi kesulitan negara kita ini?” tanya Sultan. “Ya,” tegas Abu Nawas.“Berani engkau menerima hukuman mati jika gagal?” “Pantang saya menelan ludah kembali,”jawab Abu Nawas. “Dan apa permintaanmu kalau berhasil?” tanya Sultan. “Saya minta hukuman cambuk sepuluh kali,” jawab Abu Nawas dengan tegas. “Hukuman cambuk?” Sultan keheranan. “Betul, tapi bukan untuk saya. Melainkan untuk penjaga pintu gerbang istana, tuanku.” Abu Nawas lalu menceritakan tentang kelakukan penjaga pintu. Sultan murka mendengarnya dan mengangguk-angguk tentang permintaan Abu Nawas. Sultan kemudian memerintahkan para dayang istana menukar pakaian Abu Nawas yang sudah usang sebelum mengikuti persidangan dengan para menterinya.Ketika Abu Nawas muncul dengan pakaian bersih dan baru, Sultan heran. Sebab peci yang dipakai Abu Nawas masih tetap peci yang buruk dan warnanya sudah tidak keruan. “Mengapa pecimu tidak kau tukar, Abu Nawas?” tanya Sultan. “Maaf, ini peci wasiat. Kita bisa melihat bayangan surga di dalamnya,” jawab Abu Nawas. “Betulkah itu? Awas kalau bohong,” hardik Sultan. Betul, tuan. Cuma ada syaratnya. Hanya orang-orang jujur yang tidak pernah mencuri uang negara yang bisa melihat surga di dalamnya. Orang-orang curang, para pengkhianat pasti tidak akan melihat apa-apa.”Sultan berbisik-bisik, akhirnya dia berkata, “Hai Menteri Abbas, kau kukenal jujur. Ambil peci Abu Nawas, dan coba buktikan. Nampakkah surga itu?’ Menteri Abbas gemetar. Selama ini telah banyak uang negara yang ia makan. Dia takut ketahuan belangnya. Maka dengan muka pucat diambilnya peci Abu Nawas yang lusuh itu. Betapa bau dan bukan main busuknya. Ditambah penuh daki dan noda-noda keringat. Tidak ada apa-apa di situ. Apalagi bayangan surga, bayangan neraka juga tidak ada. “Bagaimana Menteri Abbas?” tanya Sultan. Sang menteri ketakutan. Sebenarnya dia memang tidak melihat apa-apa. Akan tetapi kalau dijawab apa adanya, dia takut Sultan mengetahui kecurangannya selama ini. Maka dia menjawab terpatah-patah, “Hebat, hebat. Surga yang indah. Bidadari berlari-lari ke sana-kemari.” Sultan merasa takjub. Dia kemudian memerintahkan Menteri Harun untuk melihatnya.Menteri Harun pun begitu pula. Sudah dibolak-balik peci itu, namun hanya bau busuk yang menusuk hidung. Tetapi jika menceritakan yang sebenarnya, dia khawatir Sultan marah mengetahui ketidakjujurannya. Padahal Menteri Abbas bisa melihat surga itu. Jadi diapun menjawab dengan pura-pura kagum, “Masya Allah, jannatun na’im, jannatul firdaus. Betul-betul tempat yang indah, rindang, mata air susu mengalir dimana-mana,” kata Menteri Harun sambil menggeleng-gelengkan kepala. Para menteri lainnya juga berlaku sama. Sultan makin heran. Oleh karena sangat ingin melihat sendiri buktinya, cepat-cepat peci itu diambil dan diperhatikannya dengan saksama. Sultan malah tidak mengerti. Menteri-menterinya semua melihat surga itu, sedangkan dia merasa tidak pernah makan uang negara secara tidak halal. Mengapa dia tidak melihat apa-apa dalam peci Abu Nawas? Yang ada dia terbersin-bersin mencium bau peci itu.“Hai, Abu Nawas,” hardik Sultan. “Para menteriku semuanya melihat surga dan isinya dalam pecimu itu. Tapi aku sendiri tidak melihat apa-apa kecuali bekas-bekas keringatmu. Jadi mereka jujur, dan akulah yang pengkhianat?” Abu Nawas bangkit dari duduknya dan dengan tajam para menteri ditatapnya seorang demi seorang. Lalu Abu Nawas berkata, “ Wahai Sultan yang adil dan bijaksana. Pantaslah negeri ini kacau dan terus melarat karena menteri-menteri ini semua penjilat dan penipu. Mereka mengatakan melihat surga dalam peci saya karena mereka merasa bersalah dan telah mengkhianati kepercayaan Sultan. Mereka takut pada bayangan sendiri, bayangan kepalsuan dan keculasan mereka.” Demi mendengar penjelas Abu Nawas, Sultan terdiam dan mengangguk pertanda menerimanya.Ia kemudian memberikan hadiah kepada Abu Nawas berupa hukuman cambuk sepuluh kali dan ditimpakan kepada penjaga pintu gerbang istana, yang suka minta uang suap itu. Sementara, semua menteri yang tidak jujur itu langsung dipecat dan dihukum setimpal. Lalu dipilihlah menteri-menteri baru yang betul-betul mempunyai itikad murni berbakti kepada negara. (Kisah-kisah Islam Anti Korupsi, 2009)Menciptakan pemerintahan yang bersih, birokrasi yang kuat dan amanah, tidak cukup dengan ketersediaan instrumen hukum. Tetapi bagaimana seluruh instrumen itu berbunyi secara bermartabat dan berkeadilan. Tidak diskriminasi terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun dengan status sosial apapun juga. Inilah problem mendesak dialami bangsa yang hampir sempoyongan ini. Komitmen dan kemauan politik pemerintah masih sangat rendah. Penegakan hukum bagi pelaku korupsi berjalan lamban. Aparat penegak hukum melakukan tebang pilih dalam menyelesaikan kasus yang ada. Dukungan politik dari elit politik yang duduk di lembaga dewan, sangat rendah. Bahkan sebuah survey yang dilakukan Barometer Korupsi Global (BKG) menempatkan lembaga DPR RI sebagai yang terkorup, disusul lembaga peradilan dan partai politik, pabriknya para politisi yang ada di gedung dewan tersebut.Khalifah Harun Al-Rasyid menyadari betul, betapa kemauan politik yang kuat menjadi syarat wajib menyelematkan bangsanya dari kehancuran. Karena itu, tidak ada tawar menawar baginya terhadap kesalahan dan pengkhiatan yang dilakukan oleh para pembantunya dan pegawai kerajaan. Hukum harus ditegakkan demi keadilan dan harga diri bangsanya. Di atas semua itu, kekayaan negara harus dilindungi dan selamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Andai saja Abu Nawas hidup dan tinggal di nusantara ini, rasanya tidaklah perlu baginya untuk membutkikan seberapa parah penyakit korupsi merasuki tubuh birokrasi pemerintahan ini. Apalagi dengan meminta mereka melihat surga di dalam pecinya yang lusuh dan bau tersebut. Sebab tanpa itu semua, sebetulnya Abu Nawas sudah bisa mencium dari kejauhan bau badan para koruptor yang baunya jauh lebih busuk dari pecinya sendiri. Dan jika Sultan Harun Al Rasyid yang memimpin bangsa ini, Indonesia akan menjadi negeri dengan beribu-ribu kesejhateraan. Alih-alih, semangat Sultan pun tidak ada dinegeri ini. Fastabiqu al khairat.

Setelah Diultimatum Wapres, Penyelesaian RPP Sabang Dikebut

JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengebut penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS), beserta tiga RPP dan dua Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) lainnya. Wakil Presiden M Jusuf Kalla meminta seluruh RPP dan Ranperpres itu harus tuntas dalam minggu ini.“Harus rampung dalam minggu ini. Sekarang RPP Sabang. Besok jadwal RPP Migas,” tukas Direktur Otonomi Daerah (Otda) Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Dr Soni Sumarsono saat memimpin Rapat Antardepartemen Pembahasan RPP Sabang di Jakarta, Senin (8/6). Soal adanya desakan dari Wapres Jusuf Kalla (JK) terhadap percepatan penyelesaian RPP dan Ranperpres itu juga disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, A Hamid Zein SH MHum kepada Serambi kemarin. “Intinya semua harus sudah beres dalam minggu ini. Bagi Aceh, semakin cepat dituntaskan tentu makin baik,” ucap Hamid Zein yang ikut hadir dalam pembahasan. Desakan Wapres Jusuf Kalla pernah diutarakan secara terbuka ketika memberi sambutan pada Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbang) yang dihadiri kepala daerah dan Ketua Bappeda seluruh Indonesia beberapa waktu lalu di Hotel Bidakara, Jakarta.Dalam pembahasan itu dari Aceh hadir Sekda Husni Bahri TOB, Walikota Sabang Munawar Liza Zainal, kepala Biro Hukum dan Humas A Hamid Zein, staf ahli DPRA Mawardi Ismail, menajemen BPKS yang diwakili Iqbal Idris Ali, Abdul Halim, Lukman Efendi, dan Izwar Idris. Dari Forum Bersama Anggota DPR RI asal Aceh hadir Ahmad Farhan Hamid.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memerlukan lima PP dan tiga Perpres. Sampai saat ini yang baru selesai hanyalah PP Partai Politik Lokal dan Perpres tentang Tata Cara Konsultasi. Sementara PP yang masih belum terbit meliputi PP tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, PP tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, PP tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang, PP tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional, Perpres tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri dan Perpres tentang Perubahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Perangkat Daerah Aceh dan Perangkat Kabupaten/Kota. Hamid Zein mengatakan berbagai kesepakatan berhasil dicapai dan hanya sebagian kecil yang masih dibincangkan. “Saya kira akan segera dicapai kesepakatan,” katanya. Di antara pasal-pasal yang dinilai “krusial” dalam RPP Sabang, menurut Hamid Zein, antara lain, terkait status hukum dan kelembagaan. Pemerintah Aceh mengusulkan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) bisa diakui sebagai badan hukum publik. Dengan demikian lembaga tersebut bisa melaksanakan hubungan publik kenegaraan dan hubungan keperdataan.Farhan Hamid yang dihubungi secara terpisah mengatakan seluruh PP dan perpres itu jangan sampai ditunda lagi penyelesaiannya. “Sebab sudah terlalu lama terbengkalai. UUPA sudah berumur tiga tahun,” katanya membandingkan. Forbes DPR RI asal Aceh sudah sejak lama mendesak Pemerintahn agar menuntaskan seluruh peraturan sebagai turunan dari UUPA. “Kitapun telah berkali-kali mempertanyakan penyelesaiannya. Kali ini jangan sampai molor lagi,” ujar Farhan Hamid yang dalam Pemilu 2009 terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Aceh. (fik)