Jumat, 29 Mei 2009

Minggu, 10/05/2009 17:50 WIB

Jakarta & Jabar Masuk Daftar Provinsi Paling Banyak Kasus Korupsi

Didi Syafirdi - detikNews

Jakarta - Hasil Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap kejaksaan daerah di 9 provinsi ditemukan 275 kasus korupsi sepanjang tahun 2008 dengan potensi kerugian Negara Rp 18,72 triliun.

Sembilan propinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur berdasarkan data kejaksaan, media massa BPK dan laporan masyarakat.

Perkara korupsi paling banyak berada di sektor pemerintah dengan 111 kasus, sektor infrastruktur 50 kasus, dan pendidikan 36 kasus. Sedangkan dari sisi kelembagaan, eksekutif paling banyak yakni 275 kasus korupsi, swasta 27 kasus, dan legislatif 17 kasus.

"Jumlah aktor yang melakukan korupsi, terbanyak eksekutif 403 aktor, legislatif 127, dan legislatif 122," ujar Koordinator Investigasi ICW, Agus Sunaryanto kepada wartawan di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (10/5/2009).

Untuk kerugian Negara menurut Agus terbanyak ada di sektor perbankan sebesar Rp 9,49 triliun, pemerintahan Rp 2,9 triliun dan Infrastruktur Rp 1,1 triliun. Kerugian Negara terbesar ada di bank Indonesia Rp 9 triliun, eksekutif Rp 8,5 triliun dan BUMN Rp 572 triliun.

(did/ndr)

Selasa, 26 Mei 2009

Pupuk Subsidi Terancam tak Terdistribusi

KUALA SIMPANG – Pupuk urea bersubsidi yang diperuntukkan bagi petani di Aceh Tamiang terancam tidak terdistribusi. Hal itu disebabkan keengganan kios pengecer menjual pupuk bersubsidi, karena dinilai tak mendapat untung bahkan mereka nyaris rugi. Kondisi tersebut terungkap saat Pansus Komisi B DPRD Aceh Tamiang, Saipul Sopian, Saipul Bahri SH, Intan Mulia, dan Rahman bersama intansi terkait melakukan kunjungan kerja ke sejumlah kios pengecer pupuk di kabupeten setempat.

Ketua Komisi B, Saipul Sopian kepada Serambi, Senin (25/5) mengatakan, harga pupuk subssidi yang ditetapkan pemerintah Rp 1.200 per kilogram atau setara Rp 60 ribu per zak ukuran 50 kilogram, sementara harga pupuk yang diterima kios pengecer dari penyalur Rp 58.250 per zak, sehingga pedagang hanya memperoleh keuntungan Rp 1.750 per zak.

“Jika harga pupuk dijual Rp 1.200 per kilogram kepada petani, kios pengecer mengaku tidak mendapat untung. Selain harga yang ditetapkan penyalur Rp 58.250 per zak, pedagang kios juga harus mengeluarkan biaya lainnya sebesar Rp 3.000 per zak,” katanya. Antara lain, ongkos bongkar muat Rp 2.000 per goni, ditambah lagi ongkos langsir dari gudang tempat penyimpanan pupuk ke kios pengecer dalam kota sebesar Rp 1.000 per goni. Sehingga jumlah pengeluaran secara seluruhan sebesar Rp 61.250 per zak.

Karena hitungannya rugi, sebut Saipul, kepada anggota dewan para pedagang mengungkapkan keengganannya menjual pupuk bersubsidi tersebut. Di samping itu mereka juga khawatir disalahkan dan berurusan dengan hukum jika harga jualnya dinaikkan melebihi harga HET yang ditetapkan pemerintah.

Harga HET yang ditetapkan pemerintah membuat pedagang tipis mendapatkan untung, bahkan nyaris rugi. Sedangkan harga pupuk subsidi urea lama yang saat ini masih dijual pedagang harganya Rp 65 ribu sampai Rp 75 ribu per zak (isi 50 kilogram). “Tambahan biaya pengeluaran tersebut dikeluhkan kios pengecer, sehingga mereka berpikir dua kali untuk menjual pupuk urea bersubsidi,” ujarnya.

Untuk mencari solusi agar harga pupuk tetap murah dijual kepada petani sesuai harga yang ditetapkan pemerintah, dewan akan duduk kembali dengan dinas terkait guna mencari solusi terbaik. “Kita duduk kembali bermufakat mencari solusi. Bisa saja ongkos angkut yang Rp 3.000 tersebut disubsdidi Pemkab Tamiang, sehingga harga jual pupuk urea tetap sesuai HET,” ujar Saipul.

Dalam pansus tersebut, anggota dewan juga mengaku kecewa karena sejumlah kios yang ditunjuk menjual pupuk bersubsidi berada di Kota Kuala Simpang. Bahkan, di Kecamatan Kejuruan Muda dan Tenggulun tidak ada kios pengecer pupuk bersubsidi yang ditunjuk pemerintah. Kondisi ini membuat petani harus mengeluarkan biaya tranportasi lagi untuk membeli pupuk dari Tenggulun ke Kota Kuala Simpang. “Kita minta kios pengecer yang ditunjuk pemerintah, berada di setiap kecamatan yang ada di Tamiang, sehingga harga pupuk murah, dan mudah terjangkau petani,” demikian Saipul.(md)

Sistem Kontrol Keuangan Aceh Utara Sangat Lemah

BANDA ACEH - Bobolnya Rp 20 miliar dana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Utara dari Rp 220 miliar yang didepositokan di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bank Mandiri Jelambar, Jakarta Barat, salah satu penyebab utamanya adalah sangat lemahnya sistem kontrol keuangan di kabupaten yang dipimpin Ilyas A Hamid tersebut.

Penilaian itu dilontarkan pakar Akuntansi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dr Islahuddin, menjawab Serambi, Minggu (24/5), sehubungan dengan bobolnya Rp 20 miliar uang kasda Aceh Utara yang didepositokan di luar Aceh. Menurut Islahuddin, untuk pemindahan dan penarikan uang daerah dalam jumlah besar, biasanya harus ditandatangani oleh dua orang penguasa pengguna anggaran (PPA) daerah, yaitu bupati dan sekda. “Jika ada penarikan dan pemindahan uang daerah dalam jumlah besar hanya dilakukan oleh seorang pejabat, ini menandakan sistem kontrol keuangan daerah tersebut sangatlah lemah,” timpal Islahuddin.

Sistem kontrol keuangan suatu daerah bisa berjalan baik dan sehat, kata Islahuddin, jika masing-masing PPA-nya saling mengontrol dan mengingatkan. Karena itu, dalam penandatanganan specimen cek kontan uang daerah yang akan dicairkan atau dipindahkan dari satu bank ke bank lainnya, tidak diteken oleh satu orang, melainkan dua orang. “Tujuannya, ya sebagai kontrol,” tukas Islahuddin.

Bahkan, kata Islahuddin, pembukaan rekening daerah di sebuah bank, berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 junto Pasal 179 ayat (3) Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, haruslah ditetapkan dengan SK kepala daerah dan diberitahukan kepada DPRD setempat. Permendagri mengatur demikian, kata Islahuddin, dimaksudkan agar setiap pembukaan rekening daerah di sebuah bank untuk penempatan uang daerah di sebuah bank oleh kepala daerah diketahui DPRA. Tujuannya untuk akuntabilitas dan transparansi keuangan daerah.

Menurut Islahuddin, pemindahan Rp 420 miliar uang Pemkab Aceh Utara dari BPD Lhokseumawe ke dua bank di luar Aceh, yakni ke Bank Muamalat Indonesia (BMI) Rp 200 miliar dan Bank Mandiri, Jelambar, Rp 220 miliar oleh Bupati Aceh Utara apakah telah memenuhi sistem kontrol keuangan daerah yang benar, pihak Bupati dan Sekda Aceh Utara lah yang mengetahui hal itu.

Jika pemindahannya dilakukan dengan benar dan berpedoman pada sistem kontrol keuangan daerah yang benar, dan tidak ada maksud lain, kata Islahuddin, maka uang daerah itu tidak mungkin bisa bobol dan bermasalah seperti yang terjadi sekarang ini. “Ini pasti ada yang tidak beres,” ujar ilmuwan kelahiran Aceh Utara ini.

Menurut Islahuddin, ketidaktahuan seorang kepala daerah mengenai mekanisme transfer uang di perbankan, bisa diatasi dengan memanfaatkan jasa penasihat keuangan dan cara ini dibenarkan. Ia contohkan, para gubernur di negara-negara maju malah melakukan hal itu demi mencegah terjadinya kesalahan transfer dan pembobolan keuangan daerahnya dari mafia atau agen-agen keuangan. Sedianya, bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota, dan sekda di Aceh bisa mengikuti pola yang demikian demi mencegah kisruh keuangan di belakang hari.

Perlu dipertanyakan
Pakar Ekonomi Unsyiah lainnya, Dr Nazamuddin, berpendapat meski Gubernur Aceh telah mengevaluasi belanja pembangunan APBK Pemkab Aceh Utara Tahun 2009 dengan pagu Rp 1,352 triliun, tapi menurut analisanya, masih banyak hal yang perlu dipertanyakan oleh anggota DPRK Aceh Utara. Antara lain, tentang besaran penerimaan pembiayaan daerah yang dicantumkan dalam APBK 2009 untuk mengatasi defisit.

Untuk mengatasi defisit APBK 2009 Rp 557,975 miliar, Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK) Aceh Utara memasukkan penerimaan pembiayaan Rp 744,8 miliar, sehingga jika seluruh penerimaan daerah masuk sesuai rencana dan realisasi belanja pembangunan daerah 100 persen, maka pada akhir tahun 2009 nanti Aceh Utara diperkirakan masih surplus Rp 167,7 miliar.

Penerimaan pembiayaan itu biasanya berasal dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (silpa), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, dan penerimaan piutang daerah. “Ini bisa dilihat pada Pasal 60 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,” ujar Nazamuddin.

Ia juga membandingkan bahwa Silpa APBK Pemkab Aceh Utara Tahun 2008 dari nota keuangan yang dibuat pemkab pada perubahan APBK 2008 nilainya Rp 164,5 miliar. Jika silpa APBK setelah perubahan APBK 2008 nilainya menjadi Rp 164,5 miliar, lalu dikurangi dengan penerimaan pembiayaan yang dimasukkan ke dalam APBK 2009 Rp 744,8 miliar, maka terjadi minus Rp 577,096 miliar.

Untuk menutupi penerimaan pembiayaan yang minus tadi, kata Nazamuddin, ia belum melihat dari sumber mana diambil oleh Pemkab Aceh Utara. Sebab, dari buku vertikal APBK 2009 yang diberikan kepada DPRK Aceh Utara, pada lampiran dana cadangan tidak terlihat besarnya dana cadangan pemkab, begitu juga dalam lampiran penerimaan penjualan aset daerah, kolomnya masih kosong.

Jadi, kekurangan dana penerimaan pembiayaan yang akan dijadikan Pemkab Aceh Utara untuk menutupi defisit anggaran APBK 2009 Rp 557,975 tersebut diambil dari sumber peneriaan yang mana? “Apakah masih ada silpa lain selain silpa perubahan APBK 2008 yang telah dijelaskan sebelumnya kepada DPRK Rp 164,5 miliar,” tanya Nazamuddin.

Selain itu, ungkap Nazamuddin, yang juga perlu diketahui DPRK Aceh Utara adalah penambahan anggaran belanja pembangunan sebesar Rp 10,6 miliar. Pada SK DPRK Aceh Utara Nomor 102/2009 tanggal 27 Februari 2009 yang ditandatangani Wakil Ketua Ridwan Yunus tentang Persetujuan APBK 2009 Aceh Utara, belanja pembangunan yang disetujui Rp 1,341 triliun.

Akan tetapi dalam SK DPRK Nomor 04 Tahun 2004 tertanggal 16 Maret 2007 yang diteken Wakil Ketua DPRK Aceh Utara, Zulkifli Hanafiah, tentang tindak lanjut dari Keputusan Gubernur Aceh Darussalam Nomor Ku.903/18/2009 tentang Evaluasi RAPBK Aceh Utara 2009, belanja pembangunannya malah bertambah Rp 10,6 miliar menjadi Rp 1,352 triliun. “Tambahan itu untuk apa dan harus dijelaskan kembali kepada anggota DPRK dan masyarakat,” ujar Nazamuddin. Melihat besarnya sipla dan penerimaan pembiayaan dalam APBK Aceh Utara 2007-2009, Nazamuddin mengatakan, pelaksanaan pembangunan di daerah ini belum berjalan maksimal. Tahun 2007 dana Silpa Aceh Utara mencapai Rp 1,2 triliun, tahun 2008 turun menjadi Rp 164,5 miliar, lalu pada tahun 2009 untuk mengatasi defisitnya Rp 557,9 miliar, dibuat penerimaan pembiayaannya yang cukup besar, mencapai Rp 774,8 miliar. “Kalau demikian kejadiannya, apakah silpa yang dibuat pada bulan Oktober 2008 dalam perhitungan perubahan APBK 2008 sebesar Rp 164,5 miliar, belum merupakan Silpa APBK 2008 yang sesungguhnya?” tanya Nazamuddin. (her)

Jumat, 22 Mei 2009

Pemerintah Aceh Kembali Kucurkan Beasiswa Khusus

BANDA ACEH - Setelah sukses memberikan beasiswa khusus kepada 32 siswa lulusan SMA/MA/SMK tahun 2008 lalu, pada tahun 2009 ini, Pemerintah Aceh kembali akan memberikan beasiswa khusus kepada mereka yang berprestasi dalam berbagai bidang olimpiade sains, matematika, komputer sains, ketrampilan dan kemahiran khusus.

Ketua Komisi Beasiswa Provinsi Aceh, Dr Qismullah Yusuf kepada Serambi,Kamis (21/5) mengatakan, seleksi untuk calon penerima beasiswa khusus Pemerintah Aceh dijadwalkan dilaksanakan, Sabtu (23/5) besok. “Setiap daerah dan sekolah unggul, mendapat peluang yang sama besarnya untuk meraih beasiswa tersebut,” ungkap Qismullah.

Dikatakan, pemberian jatah untuk daerah dan sekolah unggul itu dilakukan Gubernur Irwansi Yusuf sebagai penanggung jawab dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar sebagai Ketua Dewan Pengarah. Setelah mendapat masukan dari Gubernur dan Wagub Aceh, Komisi Beasiswa kemudian mencari masukan dari berbagai pihak di semua kabupaten/kota di Aceh, baik masukan dari birokrat, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dan ulama.

Hasilnya, Pemerintah Aceh memutuskan untuk memberikan beasiswa secara adil kepada semua kabupaten/kota di Aceh dengan syarat setiap siswa SMA/MA/SMK mengirimkan satu siswa terbaik ke dinas pendidikan kabupaten/kota. Kemudian calon penerima beasiswa itu akan diseleksi oleh Komisi Beasiswa bersama Dinas Pendidikan Aceh dan kabupaten/kota dengan tiap daerah akan mendapat lima siswa terbaiknya.

Siswa sekolah unggul
Dr Qismullah juga mengatakan, untuk memberikan penghargaan kepada para bupati/walikota, ulama, dan tokoh pendidikan yang telah berpartisipasi dalam mendirikan berbagai sekolah unggul di berbagai kabupaten/kota di Aceh, Pemerintah Aceh akan menyediakan dua atau tiga beasiswa untuk setiap sekolah madrasah unggul.

Setiap sekolah hanya dibenarkan mengirimkan lima siswa terbaiknya untuk berkompetisi di jenjang sekolahnya dan hanya dua atau tiga siswa terbaik yang akan dipilih untuk menerima beasiswa Pemerintah Aceh. Sedangkan bagi siswa SMA/MA/SMK dan dayah yang siswanya meraih penghargaan perorangan tertinggi juga diberikan beasiswa penuh oleh Pemerintah Aceh.

Adapun bidang-bidang yang akan menjadi target beasiswa adalah: (1) olimpiade sains, matematika dan komputer sains, (2) olimpiade olah raga perorangan, (3) hafiz Qur’an (4) MTQ, dan (5) kepakaran khusus lainnya. Di samping itu, tahun 2009 ini, Pemerintah Aceh, juga akan memberikan penghargaan kepada orangtua/wali siswa, juga akan memberikan penghargaan kepada sekolah-sekolah yang siswanya memperoleh nilai paling tinggi pada seleksi yang akan diadakan pada tanggal 23 Mei 2009. Para siswa yang mendapat beasiswa akan dikirim ke berbagai universitas, meliputi Universitas Syiah Kuala, IAIN-Arraniry, Universitas Indonesia, IPB Bogor, ITB Bandung, ITS Surabaya dan universitas terkemuka lainnya di Indonesia.

Menjawab Serambi menyangkut jumlah siswa yang akan mendapat beasiswa tersebut, Dr Qismullah Yusuf mengatakan Pemerintah Aceh menyediakan beasiswa untuk: 23 kabupaten/kota x 5 siswa per kab/kota, 33 sekolah unggul x 2 atau 3 beasiswa persekolah unggul dan beasiswa juara olimpiade sains, matematika, komputer sains, olahraga perorangan tingkat I provinsi atau tingkat I, II, III dan harapan I, II dan III di tingkat nasional, juara MTQ dan hafiz Qur’an I, II, III dan harapan tingkat nasional/internasional.(sir)

Bupati Aceh Barat Lengakpi Bukti Korupsi ke KPK

JAKARTA —Melengkapi laporan sebelumnya, Bupati Aceh Barat Ramli MS kembali menyerahkan satu dus bukti tambahan dugaan korupsi Kawasan Industri Beureugang (KIB) PD Pakat Beusare, Aceh Barat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Kelengkapan bukti tersebut diserahkan Bupati Ramli melalui salah seorang tim asistensinya kepada KPK, di kantor KPK Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (18/5).

KPK dalam suratnya No. R-873/40-43/2009, tanggal 27 Februari 2009, menyatakan belum bisa menanggapi laporan korupsi Kawasan Industri Beureugang dan PD Pakat Beusare karena tidak memuat fakta/informasi. Menanggapi surat tersebut, Bupati Ramli kemudian menyerahkan data-data agregat tambahan ke KPK berupa dokumen surat-surat, neraca atas kasus KIB dan PD Beusare dan beberapa dokumen lainnya.

Dugaan korupsi di KIB dan PD Pakat Beusare pertama kali dilaporkan Bupati Aceh Barat Ramli MS kepada KPK pada 27 Januari 2009 lalu. Berkas tersebut diantar sendiri oleh bupati ke kantor KPK yang diterima Yuli Krostion. Berkas dugaan korupsi yang diserahkan Ramli tersebut merupakan Laporan Hasil Monitoring atas LHP Khusus Inspektorat Kabupaten Aceh Barat pada Kasus Korupsi PD. Pakat Beusare Meulaboh, dan Laporan Nomor : 700/04/BWD-LHPK/2008 Tanggal 10 Maret 2008 tentang Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Perusahaan Daerah (PD) Pakat Beusare Kabupaten Aceh Barat, serta Laporan LHP Inspektorat Nomor : 700/05/BWD-LHPK/2008 Tanggal 27 Agustus 2008 tentang Kasus Korupsi Kawasan Indsutri Beureugang (KIB) Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat.

PD Pakat Beusaree Meulaboh mengalami berbagai persoalan termausuk kerugian sebesar Rp 220 juta lebih, tunggakan piutang Rp 363 juta lebih, pertanggungjawaban fiktif biaya perjalanan dinas luar daerah sebesar Rp 15 juta, setoran PAD 2006 dan 2007 yang jauh dari target dan berbagai temuan lainnya.

Sedangkan dugaan korupsi di KIB Kaway XVI meliputi temuan penggelembungan volume biaya mobilisasi dan demobilisasi pada pekerjaan pengadaan alat-alat pengolahan kayu karet tahun anggaran 2003 sebesar Rp 85 juta lebih, pembangunan fasilitas celaner dry untuk keperluan pabrik pengolahan kayu karet senilai Rp 159 juta lebih yang tidak dimanfaatkan, penggelembungan harga tanah Kawasan Industri Beureugang tahun anggaran 2003 sebesar Rp 52 juta lebih, gedung pabrik minyak goreng, pabrik CPO dan gedung rice refeni unit (RRU) sejumlah Rp 641 juta lebih yang tidak berfungsi dan lain-lain. Waktu itu, Bupati Ramli mengharapkan KPK segera menindaklanjuti laporan tersebut. “Kalau dibiarkan berlarut-larut pasti akan mempengaruhi kinerja pemerintahan kami saat ini,” ujar Ramli MS.(fik)

Rabu, 20 Mei 2009

Sabang Terima Rp 1,2 Triliun

JAKARTA - Pemerintah pusat telah mengucurkan dana sebesar Rp 1,2 triliun untuk pembangunan kawasan Sabang selama kurun waktu 2003 sampai 2009. Dana tersebut berasal dari ‘pos anggaran 69’ APBN. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas, Paska Suzetta, mengatkan hal itu saat berbicara dalam seminar nasional ‘Menggerakkan Kawasan Sabang Sesuai Setatusnya,’ di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (19/5).

Dia mengatakan bahwa Pemerintah Pusat menaruh perhatian besar terhadap pembangunan kawasan Sabang. Buktinya, anggaran untuk Sabang terus meningkat dari Rp 27 miliar pada 2003, terus bertambah pada tahun 2004 hingga 2007. Tahun 2008 dialokasikan Rp 441 miliar, tahun 2009 Rp 421 miliar. “Tahun 2010 kita akan tambah lagi,” kata Paska tanpa menyebut angka.

Disebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 11 triliun lagi untuk membangun seluruh infrastruktur kawasan pelabuhan bebas Sabang. Untuk itu, ia mempersilakan Pemerintah Aceh mendapatkan sumber dana lain selain APBN yang sangat terbatas. Terhadap belum adanya PP tentang Sabang, kata Paskah, pembangunan Sabang tidak sepenuhnya tergantung kepada PP, mengingat pemerintah sudah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang bisa segera dijalankan.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dalam forum yang sama, secara khusus mendesak Pemerintah Pusat segera menerbitkan Peraturan pemerintah (PP) tentang Sabang, serta mensosialisasikan status Sabang ke seluruh instansi di Pusat, dan tidak mencabut status pelabuhan bebas Sabang menyusul disahkannya undang-undang mengenai lima pelabuhan bebas.

Gubernur juga meminta perhatian PT Pelindo (Pelabuhan Indonesia) untuk mengalihkan seluruh assetnya kepada Pemerintah Aceh sesuai perintah Undang-Undang No 11 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Proses itu sekarang ada di Departemen Keuangan,” ujar Irwandi. Kepala Badan Pengelola Kawasan Sabang (BPKS), T Syaiful Achmad menjawab Serambi di sela-sela seminar menegaskan, PP tentang Sabang tetap penting dan diperlukan. “Tanpa itu kita tidak bisa berbuat banyak, karena tidak jelasnya pembagian kewenangan antara Pusat dan Aceh,” ujarnya.

Ia mengatakan, BPKS menghadapi banyak kendala dilapangan, khususnya pelaksanaan kegiatan operasional seperti kelengkapan perangkat hukum, status hukum dan perbedaan persepsi terhadap status dan kedudukan kawasan Sabang dengan kecenderungan ego sektoral yang kontra produktif.

Misalnya, terjadinya penangkapan kapal yang mengangkut barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang secara berturut-turut yang dilakukan oleh satuan Polisi Airud dan satuan tugas Patroli Angkutan Laut. “Alasannya tidak jelas. Kapal dan barang sudah dilengkapi dokumen-dokumen legal,” ujar Syaiful. Irwandi juga mengakui, pengembangan Sabang tidak akan mulus tanpa PP. “Serlama ini Sabang dijalankan dengan peraturan gubernur (Pergub), tapi kewenangannya terbatas,” sebut Irwandi.

Seminar nasional tentang Sabang itu juga dihadiri Presiden Al-Aidid Petro Corporation Sdn.Bhd, Dato’ Ir Hj. Mohammad Aidid bin Hj Zakarioa, investor asal Malaysia yang berencana menamkan investasi senilai Rp 70 triliun di Pulau Aceh. Memorandung of Agreement (MoA) sudah diteken beberapa waktu lalu dan dijadwalkan pengerjaan fisik dilakukan bulan Oktober 2009. Perusahaan tersebut akan membangun penyulingan dan penyimpanan minyak dan akan diber hak kelola selama 20 tahun. Aceh, kata Gubernur Irwandi mendapat sharing saham sebesar 65 persen.

“Kami tertarik berinvestasi di Aceh karena letaknya sangat strategis setelah Singapore dan Port Klang sangat padat,” kata Dato’ Aidid menjawab Serambi. Seminar yang berlangsung sehari itu juga dihadiri Walikota Sabang, H Munawar Liza Zainal, serta sejumlah pejabat daerah dan Pusat.(fik)

Pimpro Rumah Banjir tak Penuhi Panggilan Dewan

KUALA SIMPANG - Pembangunan rumah untuk korban banjir Aceh Tamiang disinyalir bermasalah karena ada rekanan yang telah menarik uang proyek namun di lapangan, proyek pembangunan rumah belum selesai dikerjakan. Komisi C DPRD Tamiang yang ingin mengetahui sejauh mana pelaksanaan proyek tidak mendapat gambaran dari dinas PU. Karena pengendali pelaksana proyek (PPK) atau pimpro Dinas PU Tamiang tidak hadir ketika dipanggil dewan. Padahal sudah dipanggil sebanyak dua kali. Untuk membuktikan itu, dalam waktu dekat DPRD Tamiang akan membuat pansus dan meninjau langsung ke lapangan.

Ketua Komisi C DPRD Tamiang, Khairul kepada Serambi, Selasa (19/5) mengakui pihaknya telah memanggil pimpro rekontruksi pembangunan rumah banjir sebanyak dua kali, Jumat (8/5) dan Senin (11/8). Namun pimpro tetap tidak mau datang memberi penjelasan kepada dewan.

Ketidakhadiran pimpro membuat tanda tanya dewan dan mensinyalir rekon rumah banjir bermasalah. “Khusus untuk rekontruksi rumah banjir, PPK ada dua kali dipanggil anggota dewan namun tak datang,” ujar Khairul.

Khairul yang didampingi anggota komisi C, Elpian Raden dan Amrizal menambahkan, ketidakhadiran PPK tersebut diduga karena ia tidak mampu memberikan penjelasan kepada dewan karena ada indikasi uang proyek rumah banjir yang dicairkan baru-baru ini tidak sesuai dengan yang dilaporkan. “Ada indikasi kontraktor terima uang dulu baru mengerjakan pembangunan rumah,” ujar Elpian Raden.(md)

Selasa, 19 Mei 2009

Dewan Diminta Tunda Pembahasan Raqan WN

BANDA ACEH - Pemerintah Aceh melalui Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar memohon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menunda pembahasan rancangan qanun tentang wali nanggroe (Raqan WN). Demikian disampaikan Wagub Muhammad Nazar dalam pembukaan sidang paripurna DPRA, Senin (18/5), dengan materi pembahasan sejumlah raqan. “Permohonan penundaan itu kita sampaikan, karena eksekutif ingin mendalami lagi isi dari raqan tersebut,” kata Wagub kepada pers, seusai pembukaan sidang tersebut.

Catatan Serambi, raqan wali nanggroe tersebut adalah salah satu usulan inisiatif raqan yang disampaikan anggota DPRA pada tahun lalu yang belum sempat disahkan. Untuk penyempurnaan isi raqan itu, Pansus DPRA telah melakukan dengar pendapat dengan berbagai elemen masyarakat, baik di Aceh, Medan dan Jakarta, bahkan ke luar negeri.

Bagi Dewan, kata Muhammad Nazar, mungkin isi raqan tersebut sudah baik, tapi untuk eksekutif yang akan melaksanakan isi dari raqan itu, perlu mengkaji lebih dalam lagi, meski raqan ini merupakan implementasi dari pasal UUPA tentang Wali Nanggroe. Pihak eksekutif, kata Nazar, perlu kembali mempelajari historis dan filosofi dari wali nanggroe. Menurut Nazar, pihak eksekutif perlu menanyakan kembali kepada mantan perunding dari GAM dan RI mengenai arti dari wali nanggroe yang disebutkan dalam Kesepakatan Damai RI-GAM, 15 Mei 2005 lalu di Helsinki, Finlandia, yang kini telah dituangkan dalam UUPA Nomor 11 tahun 2006.

“Untuk apa cepat kita sahkan, kalau di kemudian hari harus direvisi, karena raqan itu tidak aktual lagi dengan kondisi perubahan sosial dan kultural masyarakat Aceh. Karenanya, sebelum disahkan Dewan, kita mohon pembahasannya ditunda dulu,” ujar Nazar. Sedangkan terhadap tiga raqan lainnya, yaitu raqan MPU, tata cara pemilihan mukim, tata cara pemilihan dan pemberhentian geuchik, Nazar menyatakan, Pemerintah Aceh tidak keberatan jika pembahasan ketiga raqan tersebut tetap dilanjutkan, dan disahkan sesuai dengan jadwal pada pekan depan.

Dibahas bersama
Sekretaris Pansus XI, Yusrizal mengatakan, raqan wali nanggroe disampaikan pada sidang paripurna karena beberapa pertimbangan. Antara lain, pihak Pansus XI menilai, raqan ini sudah siap untuk disampaikan dalam Sidang Paripurna DPRA untuk dibahas bersama dengan eksekutif untuk kemudian disahkan.

Menurut dia, isi raqan ini sudah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan, setelah pihaknya melakukan sejumlah pertemuan dan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemimpin tertinggi GAM, Tgk Muhammad Hasan Di Tiro yang didaulat sebagai wali nanggroe oleh aktivis organisasi tersebut.

Tapi, kata Yusrizal, jika dalam pembahasannya pada sidang paripurna ini masih diperlukan perubahan, maka pihaknya menyerahkannya kepada forum. Menurut dia, dengan telah disampaikannya raqan tersebut dalam sidang paripurna kemarin, maka tugas Pansus XI telah selesai, dan selanjutnya raqan ini menjadi milik bersama yakni eksekutif dan legislatif untuk membahas dan mengesahkannya.

Sementara Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria yang dimintai tanggapannya usai sidang paripurna mengatakan, sebuah raqan, baru bisa dibahas jika kedua belah pihak (eksekutif dan legislatif) setuju dibahas. “Tapi dalam sidang paripurna tadi, dari empat raqan yang akan disampaikan pembahasannya, satu dia ntaranya yaitu raqan wali nanggroe, oleh gubernur pembahasannya minta ditunda dulu.,” ujar dia.

Untuk menyahuti permintaan gubernur itu, kata Sayed, tidak bisa dijawab dengan serta merta oleh pimpinan sidang paripurna atau ketua dan wakil ketua DPRA, tapi harus melalui forum rapat Panmus Dewan. Rapat itu akan dilakukan sore hari dan jika Panmus Dewan menyetujuinya, maka pembahasan raqan wali nanggroe akan ditunda.

Bolos
Sementara itu, puluhan unit kursi anggota dewan kembali terlihat kosong dalam Sidang Paripurna DPRA kemarin. Amatan Serambi, kondisi sepinya sidang paripurna dewan, semakin sering terlihat setelah Pemilu Legislatif April 2009. Dalam dua sidang paripurna yang digelar pascapemilu, jumlah anggota DPRA yang hadir tidak pernah lagi mencapai di atas 70 persen. Rata-rata yang hadir dua kali sidang paripurna berkisar antara 37 sampai 40 orang. Ini artinya, setiap sidang paripurna ada sekitar 20-29 orang anggota Dewan yang bolos.(her)

Pembayaran Proyek Lanjutan 2008 Mengambang

BANDA ACEH - Hingga memasuki bulan ke lima pelaksanaan APBA 2009, Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) ternyata belum membayarkan sisa dana proyek lanjutan tahun 2008. Bila terus berlarut, selain menambah berat beban rekanan, dikhawatirkan juga akan berdampak pada arus perputaran uang di Aceh.

Saat ini, sebagaimana disampaikan Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Aceh, Lukman CM, banyak proyek lanjutan tersebut yang telah selesai dikerjakan. Para rekanan pun mendesak agar sisa dana proyek tersebut segera dibayar. “Akhir tahun lalu, realisasi fisik pekerjaan baru sekitar 50 sampai 60 persen dan uang yang diterima dari SKPA sekitar 45 sampai 50 persen. Bulan ini, sisa pekerjaan itu telah selesai dan mereka minta SKPA membayarnya,” katanya kepada Serambi, Senin (18/5).

Keterlambatan pembayaran tersebut telah menyebabkan utang rekanan kepada pemasok barang menumpuk, bahkan gaji buruh banyak yang belum dibayar. Pemerintah Aceh diakui Lukman, awal tahun lalu sebenarnya telah memberi sinyal akan membayar seluruh proyek lanjutan dimaksud setelah dilakukannya perubahan APBA 2009.

Namun sambungnya, hingga Mei ini, Tim Anggaran Eksekutif Aceh (TAPA) belum juga menyampaikan usulan pembayaran proyek lanjutan APBA 2008 ke dalam perubahan APBA 2009. “Rekanan resah. Apakah sisa pekerjaan itu akan dibayar pada bulan depan atau tidak. Bila tidak, maka beban biaya yang dipikul bertambah besar,” ucap Lukman. Sebagai pembina kontraktor, dia mendesak agar Pemerintah Aceh dapat membantu percepatan perubahan APBA 2009. Dia juga mengkoreksi SKPA yang menyatukan sejumlah paket proyek 2009 sekala kecil dan menengah untuk di lelang kepada pengusaha besar.

Belum bisa dibahas
Ketua Tim Panitia Anggaran (Panggar) DPRA, Marthen Habib, menyambut baik desakan tersebut. Tetapi karena SKPA dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh belum menyampaikan perubahan APBA 2009 yang memuat pembayaran sisa pekerjaan APBA 2008, maka Panggar Dewan belum bisa membahasnya.

Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPRA, Sulaiman Abda, juga mendesak dilakukannya percepatan usulan perubahan APBA 2009. Artinya, sambung dia, semakin cepat TAPA mengajukan perubahan APBA, maka pembayaran sisa pekerjaan APBA 2008 bisa secepatnya dilakukan. “Ini sangat membantu rekanan dan meningkatkan peredaran uang di Aceh pascatutupnya BRR,” ujar Sulaiman Abda.

Sementara itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dalam acara coffe morning bersama wartawan dan kepala SKPA, pekan lalu, mengatakan bahwa daya serap ABPA 2008 sampai akhir tahun lalu sekitar 67 persen sebagai akibat banyaknya proyek yang tak diselesaikan. Karena itu, ia meminta SKPA segera membuat data proyek lanjutan APBA 2008 yang akan dimasukkan ke dalam perubahan APBA 2009.(her)

BPK tidak Berwenang Nyatakan Kerugian Negara

SIGLI- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak berwenang menyatakan kerugian negara terhadap penggunaan dana APBK Pidie melalui pos dana tak tersangka tahun 2002, karena hal itu tidak diatur dalam dalam peraturan negara. Selain itu, penggunaan dana tersebut telah sesuai dengan petunjuk Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2000.

Hal itu, antara lain diungkapkan saksi ahli meringankan terdakwa (saksi adecharge -red) Drs Syahril Mahmud MSi, mantan Direktur Pengelolaan Keuangan Daerah, saat ditanya Majlis Hakim dalam sidang perkara penggunaan dana pos tak tersangka tahun 2002 Rp 7,7 miliar yang menyebabkan kerugian negara Rp 878 juta, Senin (18/5), di Pengadilan Negeri (PN) Sigli Pidie.

Penggunaan dana pos tak tersangka tersebut, diduga melibatkan mantan Bupati Pidie Abdullah Yahya, mantan Wakil Bupati Djalaluddin Harun, dan mantan Sekdakap Imran Usman. Sidang tersebut dipimpin Hakim Ketua Zulfikar SH MH serta dua hakim anggota Teuku Syarafi SH MH dan Toni Irfan SH.

Saksi ahli menguraikan, dalam PP 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang tertuang dalam pasal 12 ayat 2, bahwa pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak tersangka adalah untuk penanganan bencanan alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggara kewenangan pemerintah daerah.

Sekda, katanya, bisa saja mengeluarkan dana sesuai dengan haknya jika memang ada delegasi dari atasannya (bupati -red). Dana tersebut dikeluarkan, baik lewat pos tak tersangka maupun pos lain, demi menutupi kebutuhan daerah. Bagaimana dengan kondisi Aceh ketika itu, tanya Malis Hakim, apakah dana pos tak tersangka bisa digunakan pemerintah? Saksi ahli menjawab, bahwa pada saat itu Aceh dalam bingkai konflik bersenjata, sehingga otomatis dana tersebut bisa digunakan, sejauh kewenangan hak pemerintah ketika itu. Tentunya penggunaan dana yang digunakan itu tetap mengacu pada mekanisme.

“Jadi, dalam pasal 12 ayat 2, selain disebutkan penanganan dana pos tak tersangka untuk bencanan alam dan bencana sosial, juga disebutkan pengeluaran tidak tersangka lainnya. Artinya, penggunaan bukan untuk bencana alam ataupun bencana sosial saja, melainkan cakupan penggunaan dana pos tak tersangka bisa digunakan, sejauh untuk melancarkan pembangunan pemerintah,” katanya di depan majelis hakim, Senin kemarin.

Setelah majelis hakim mendengarkan penjelasan saksi ahli yang meringankan terdakwa, hakim menanyakan kembali pada terdakwa menyangkut keterangan tersebut. Setelah itu, majelis hakim menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) apakah ada saksi lain untuk dihadirkannya. Namun, JPU mengatakan tidak ada saksi lain. Sehingga majelis hakim menutup sidang tersebut. Sidang akan dilanjutkan, Kamis (28/5), dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa.(naz)

DPRK Minta Proyek 2009 Segera Dikerjakan

KUALA SIMPANG – Anggota DPRK meminta Pemkab Aceh Tamiang segera mengerjakan sejumlah proyek APBD 2009 yang telah disahkan dewan bulan Maret lalu. Sebab, jika terlambat dikerjakan kondisi itu dikhawatirkan akan berdampak terhadap penyelesaian proyek tepat waktu dan daya serap anggaran tahun berjalan.

Anggota DPRK Aceh Tamiang, Amrizal kepada Serambi, Senin (18/5) mengatakan, walaupun APBD Aceh Tamiang sudah disahkan APBD pada bulan Maret lalu, namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda proyek tersebut akan dikerjakan. “Kita khawatirjika tender terlambat digelar akan berdampak terhadap pelaksanaan proyek di lapangana ketika memasuki musin penghujan,” ujarnya.

Disamping itu, katanya, keterlambatan tersebut juga berpengaruh terhadap daya serap anggaran tahun berjalan. Untuk itu, Bupati diminta mengevaluasi kinerja sejumlah satker yang terkesan belum siap melakukan tender. “Jangan sampai setelah ditender kondisi hujan menjadi alasan proyek tidak selesai dikerjakan,” ujar Amrizal

Menuru anggota dewan dari PDI-P ini, beberapa waktu lalu pihaknya sudah mempertanyakan kepada eksekutif, terkait lambatnya proses tender. Namun, mereka memberi alasan tender proyek akan dilaksanakan serentak oleh satker di lingkungan Pemkab Tamiang, tetapi sampai saat ini belum dilaksanakan. “Jangan sampai pelaksanaan tender terulang kembali seperti tahun lalu, hingga bulan Mei belum dilaksanakan,” ujarnya.

Kondisi yang sama juga dikhawatirkan anggota dewan lainnya, Khairul. Menurutnya, Pemkab Tamiang harus mempercepat proses pengerjaan proyek tahun 2009, karena pembahasabn APBD-P dapat dibahas setelah diketahui penggunaan anggaran APBD 2009. Disamping itu, saat ini pembahasan APBD telah mengacu pada jadwal nasional, dikhawatirkan jika ketentuan tersebut dilanggar, Aceh Tamiang akan menerima sanksi pengurangan dana alokasi khusus dari pusat.

Terkait pengerjaan proyek, Sekda Aceh Tamiang Is Saipul Anwar mengatakan, saat ini tahap tender proyek dalam proses persiapan. “Atas kesepakatan bersama pelaksanaan tender akan dilaksanakan secara serentak oleh SKPD masing-masing,” ujarnya yang saat dihubungi Serambi mengaku sedang berada di Balik Papan.(md)
LANGSA — Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Rusli Ranto menyatakan tidak tertutup kemungkinan oknum anggota dewan setempat terlibat dalam kasus dana hibah Aceh Timur sebesar Rp 16 miliar. Kasus ini banyak diperbincangkan dan mengakibatkan sejumlah pejabat, termasuk Sekda Aceh Timur Ir Akmal Syukri, diperiksa Kejati NAD.

“Kalau soal itu, tidak tertutup kemungkinan anggota dewan terlibat. Tetapi kita tunggu saja kepastian hasil pemeriksaan tim Kejati. Nantinya semua akan jelas siapa dan bagaimana alur persoalan dimaksud,” kata Rusli Ranto menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus dana hibah, Senin (18/5) di Langsa.

Menututnyaa, DPRK Aceh Timur dalam waktu dekat akan memanggil eksekutif, termasuk SKPD untuk dimintai keterangan. Sementara ketika disinggung apakah keberadaan dana hibah ada dilaporkan kepada dewan, Rusli dengan tegas menyebutkan, dana tersebut tidak dilaporkan sama sekali kepada dewan. Padahal, katanya, setiap sumber dana, baik itu dari APBK maupun dari luar itu setiap kali rapat selalu ditanyakan kepada eksekutif. “Tapi, ini tidak dilaporkan sama sekali. Saya secara institusi terus terang tidak tahu dengan dana hibah itu,” ungkapnya.

Menurut Rusli Ranto, dana hibah persisnya seperti dana ‘gaib’ yang muncul tiba-tiba. Itu pun muncul karena adanya persoalan yang memperburuk citra Pemkab Aceh Timur itu sendiri. Disinggung kemungkinan besar ketertibatan anggota dewan dimaksud, ia mengatakan, “Kita tidak menvonis, saya ketakan kemungkinan saja bisa terlibat. Namun, semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati,” pungkasnya.

Sebelumnya, dari tiga pejabat Aceh Timur yang telah dijadwalkan akan dimintai keterangannya oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, ternyata hanya dua yang hadir, Darmawan M Ali dan Subaliono. Sedangkan, Edi Susanto (mantan bendahara dana bantuan penanganan pascabencana) mangkir terhadap panggilan jaksa.

Seperti diketahui, persoalan dana hibah itu terungkap saat Wabup Aceh Timur, Nasruddin Abubakar melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Inspektorat dan BPKD Aceh Timur, Senin 27 April 2009. Nasruddin meminta agar dana hibah pascabanjir 2008 dari Menkokesra sekitar Rp 16 miliar yang tidak pernah masuk kas daerah, dikembalikan.

Sementara Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dalam konferensi pers di Pendapa Bupati Aceh Timur di Langsa, Selasa (28/4) mengatakan, dana hibah itu tidak masuk dalam rekening pribadi oknum tertentu, melainkan masih tersimpan dalam rekening Pemerintah Daerah di BPD Aceh Cabang Langsa dengan nomor rekening 040.01.02.570.322.5/kegiatan penanganan pascabencana tahap I dan II tahun 2008 sebesar Rp 3.500.000.000 dan Rp 12.500.000.000 yang merupakan rekening khusus milik pemerintah daerah.(is)

Oknum Anggota Dewan Kemungkinan Terlibat

LANGSA — Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Rusli Ranto menyatakan tidak tertutup kemungkinan oknum anggota dewan setempat terlibat dalam kasus dana hibah Aceh Timur sebesar Rp 16 miliar. Kasus ini banyak diperbincangkan dan mengakibatkan sejumlah pejabat, termasuk Sekda Aceh Timur Ir Akmal Syukri, diperiksa Kejati NAD.

“Kalau soal itu, tidak tertutup kemungkinan anggota dewan terlibat. Tetapi kita tunggu saja kepastian hasil pemeriksaan tim Kejati. Nantinya semua akan jelas siapa dan bagaimana alur persoalan dimaksud,” kata Rusli Ranto menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus dana hibah, Senin (18/5) di Langsa.

Menututnyaa, DPRK Aceh Timur dalam waktu dekat akan memanggil eksekutif, termasuk SKPD untuk dimintai keterangan. Sementara ketika disinggung apakah keberadaan dana hibah ada dilaporkan kepada dewan, Rusli dengan tegas menyebutkan, dana tersebut tidak dilaporkan sama sekali kepada dewan. Padahal, katanya, setiap sumber dana, baik itu dari APBK maupun dari luar itu setiap kali rapat selalu ditanyakan kepada eksekutif. “Tapi, ini tidak dilaporkan sama sekali. Saya secara institusi terus terang tidak tahu dengan dana hibah itu,” ungkapnya.

Menurut Rusli Ranto, dana hibah persisnya seperti dana ‘gaib’ yang muncul tiba-tiba. Itu pun muncul karena adanya persoalan yang memperburuk citra Pemkab Aceh Timur itu sendiri. Disinggung kemungkinan besar ketertibatan anggota dewan dimaksud, ia mengatakan, “Kita tidak menvonis, saya ketakan kemungkinan saja bisa terlibat. Namun, semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati,” pungkasnya.

Sebelumnya, dari tiga pejabat Aceh Timur yang telah dijadwalkan akan dimintai keterangannya oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, ternyata hanya dua yang hadir, Darmawan M Ali dan Subaliono. Sedangkan, Edi Susanto (mantan bendahara dana bantuan penanganan pascabencana) mangkir terhadap panggilan jaksa.

Seperti diketahui, persoalan dana hibah itu terungkap saat Wabup Aceh Timur, Nasruddin Abubakar melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Inspektorat dan BPKD Aceh Timur, Senin 27 April 2009. Nasruddin meminta agar dana hibah pascabanjir 2008 dari Menkokesra sekitar Rp 16 miliar yang tidak pernah masuk kas daerah, dikembalikan.

Sementara Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dalam konferensi pers di Pendapa Bupati Aceh Timur di Langsa, Selasa (28/4) mengatakan, dana hibah itu tidak masuk dalam rekening pribadi oknum tertentu, melainkan masih tersimpan dalam rekening Pemerintah Daerah di BPD Aceh Cabang Langsa dengan nomor rekening 040.01.02.570.322.5/kegiatan penanganan pascabencana tahap I dan II tahun 2008 sebesar Rp 3.500.000.000 dan Rp 12.500.000.000 yang merupakan rekening khusus milik pemerintah daerah.(is)

Oknum Anggota Dewan Kemungkinan Terlibat

LANGSA — Wakil Ketua DPRK Aceh Timur, Rusli Ranto menyatakan tidak tertutup kemungkinan oknum anggota dewan setempat terlibat dalam kasus dana hibah Aceh Timur sebesar Rp 16 miliar. Kasus ini banyak diperbincangkan dan mengakibatkan sejumlah pejabat, termasuk Sekda Aceh Timur Ir Akmal Syukri, diperiksa Kejati NAD.

“Kalau soal itu, tidak tertutup kemungkinan anggota dewan terlibat. Tetapi kita tunggu saja kepastian hasil pemeriksaan tim Kejati. Nantinya semua akan jelas siapa dan bagaimana alur persoalan dimaksud,” kata Rusli Ranto menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus dana hibah, Senin (18/5) di Langsa.

Menututnyaa, DPRK Aceh Timur dalam waktu dekat akan memanggil eksekutif, termasuk SKPD untuk dimintai keterangan. Sementara ketika disinggung apakah keberadaan dana hibah ada dilaporkan kepada dewan, Rusli dengan tegas menyebutkan, dana tersebut tidak dilaporkan sama sekali kepada dewan. Padahal, katanya, setiap sumber dana, baik itu dari APBK maupun dari luar itu setiap kali rapat selalu ditanyakan kepada eksekutif. “Tapi, ini tidak dilaporkan sama sekali. Saya secara institusi terus terang tidak tahu dengan dana hibah itu,” ungkapnya.

Menurut Rusli Ranto, dana hibah persisnya seperti dana ‘gaib’ yang muncul tiba-tiba. Itu pun muncul karena adanya persoalan yang memperburuk citra Pemkab Aceh Timur itu sendiri. Disinggung kemungkinan besar ketertibatan anggota dewan dimaksud, ia mengatakan, “Kita tidak menvonis, saya ketakan kemungkinan saja bisa terlibat. Namun, semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan Kejati,” pungkasnya.

Sebelumnya, dari tiga pejabat Aceh Timur yang telah dijadwalkan akan dimintai keterangannya oleh Tim Jaksa Penyelidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, ternyata hanya dua yang hadir, Darmawan M Ali dan Subaliono. Sedangkan, Edi Susanto (mantan bendahara dana bantuan penanganan pascabencana) mangkir terhadap panggilan jaksa.

Seperti diketahui, persoalan dana hibah itu terungkap saat Wabup Aceh Timur, Nasruddin Abubakar melakukan inspeksi mendadak ke Kantor Inspektorat dan BPKD Aceh Timur, Senin 27 April 2009. Nasruddin meminta agar dana hibah pascabanjir 2008 dari Menkokesra sekitar Rp 16 miliar yang tidak pernah masuk kas daerah, dikembalikan.

Sementara Sekda Aceh Timur, Akmal Syukri dalam konferensi pers di Pendapa Bupati Aceh Timur di Langsa, Selasa (28/4) mengatakan, dana hibah itu tidak masuk dalam rekening pribadi oknum tertentu, melainkan masih tersimpan dalam rekening Pemerintah Daerah di BPD Aceh Cabang Langsa dengan nomor rekening 040.01.02.570.322.5/kegiatan penanganan pascabencana tahap I dan II tahun 2008 sebesar Rp 3.500.000.000 dan Rp 12.500.000.000 yang merupakan rekening khusus milik pemerintah daerah.(is)

Senin, 18 Mei 2009

Bendahara Umum Daerah Diperiksa BPK

LHOKSUKON - Polda Metro Jaya dilaporkan masih melakukan pengembangan kasus bobolnya rekening Pemkab Aceh Utara di Bank Mandiri Jelambar, Jakarta Barat yang menyebabkan dana Rp 20 miliar berpindah tangan. Pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh disebut-sebut telah memeriksa sejumlah staf Bendahara Umum Daerah (BUD) Setda Aceh Utara. Hingga Sabtu (16/5), belum ada tersangka baru selain mantan Pimpinan Cabang Bank Mandiri Jelambar dan seorang wanita berinisial Lis. Wanita itu disebut-sebut punya hubungan dengan oknum pejabat Aceh Utara. Namun informasi tersebut secara tegas dibantah

oleh Kuasa Hukum Pemkab Aceh Utara, Jafaruddin SH. “Wanita berinisial Lis itu tak ada hubungannya dengan pejabat Pemkab Aceh Utara. Saya sudah tanya ke kuasa hukumnya, katanya dia tak kenal dengan pejabat Aceh Utara,” tandas Jafaruddin. Ditanya perkembangan pemeriksaan kasus itu, Jafaruddin mengatakan, menurut informasi yang diperolehnya, hingga Sabtu kemarin tersangka yang ditahan masih tetap dua orang, sedangkan lainnya masih dalam pengembangan polisi. “Sebab hari ini libur, makanya belum ada info baru. Mungkin hari Senin depan sudah ada perkembangan baru,” kata Jafaruddin.

Mengenai tersangka berinisial Lis, menurut Jafaruddin, pihaknya belum bertemu langsung dengan wanita itu karena masih dalam pemeriksaan intensif oleh pihak kepolisian. Selain membantah tentang hubungan Lis dengan pejabat Aceh Utara, Jafaruddin juga membantah SMS yang bereda di Aceh Utara dan Lhokseumawe, bahwa kemarin ada pejabat penting Aceh Utara yang ditangkap di Jakarta terkait bobolnya rekening senilai Rp 20 miliar itu. SMS tersebut beredar dari satu ponsel ke ponsel lainnya.

Menurut Jafaruddin, sebagai kuasa hukum Pemkab Aceh Utara, dia tahu persis, hingga pukul 18.00 WIB, Sabtu (16/5), belum ada seorang pun pejabat Aceh Utara dan masyarakat Aceh Utara ditangkap Polda Metro Jaya dalam kasus bobolnya rekening Pemkab Aceh Utara di Bank Mandiri Jelambar. “Kalau ada berita atau isu yang beredar lewat SMS, berarti sengaja diciptakan oknum secara iseng-iseng untuk menjatuhkan seseorang,” tukasnya.

Diperiksa BPK
Sumber lainnya di Kabupaten Aceh Utara mengungkapkan, sehubungan dengan bobolnya rekening pemerintah daerah di Bank Mandiri Cabang Jelambar, tim Badan Pemeriksaan Keuangan Daerah (BPK) Perwakilan Aceh telah memeriksa beberapa staf BUD. Menurut sumber tersebut, tim BPK sejak pertengahan April lalu telah berada di Lhokseumawe, melakukan pemeriksaan kuasa BUD sejumlah dinas.

Bahkan, awal Mei lalu, BPK ikut memeriksa keberadaan uang kas daerah yang dialihkan ke Bank Mandiri di Jakarta Barat. Dalam pemeriksaan itu, pada 1 Mei 2009 dana Rp 220 miliar masih utuh di Bank Mandiri. Namun, secara tiba-tiba tim BPK dikejutkan dengan adanya pemberitaan di media massa tentang hilangnya uang Rp 20 miliar tersebut. Akhirnya, tim memeriksa kembali kuasa keuangan daerah. “Tapi, kalau di daerah tidak ada masalah, hanya kejanggalan itu terjadi di Jakarta sana,” ujar sumber itu. Hingga tadi malam Serambi belum mendapatkan konfirmasi dari pihak BPK tentang sejauh mana kebenaran laporan yang menyebutka BPK sudah memeriksa BUD Setdakab Aceh Utara terkait bobol dana Rp 20 miliar.

Bentuk pansus
Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe/Aceh Utara mendesak DPRK Aceh Utara membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelusuri kasus bobol kas daerah senilai Rp 20 miliar itu. “Walaupun kasus ini ditangani Polda Metro Jaya, DPRK Aceh Utara juga harus bertanggung jawab dengan uang rakyat yang sudah hilang itu. DPRK harus punya nyali sebagai lembaga pengawas,” tulis Ketua Umum HMI Cabang Lhokseumawe-Aceh Utara, Armia dalam siaran pers yang diterima Serambi, Sabtu. Pengurus HMI juga meminta Pemkab Aceh Utara agar segera mengambil uang yang didepositokan di Jakarta dan megembalikan ke bank di daerah.(ib/saf)

Jumat, 15 Mei 2009

Cetak Sawah Baru Semua Bermasalah


BANDA ACEH - Laporan permasalahan proyek cetak sawah baru ternyata bukan sebatas di Aceh Barat Daya (Abdya) melainkan merata di semua lokasi proyek 2008, yaitu di sembilan kabupaten/kota. “Ada sembilan paket proyek cetak sawah baru dengan sumber dana APBA 2008. Namun sampai akhir Desember 2008 belum satu pun yang selesai dikerjakan kontraktornya,” ungkap Koordinator Lapangan Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), Tgk H Abdullah Madyah kepada Serambi, Rabu (13/5).

Menurut Abdullah, informasi itu diterima tim TAKPA dari Ir T Azharsyah selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek cetak sawah baru Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh. Mengutip penjelasan T Azharsyah kepada tim TAKPA, pada 2008, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, melaksanakan sembilan paket proyek pencetakan sawah baru. Target sawah baru yang akan dicetak mencapai 1.475 hektare dengan pagu anggaran Rp 10,734 miliar.

Proyek ini tersebar di sembilan kabupaten, yaitu Pidie 180 hektare (pagu anggaran Rp 11,97 miliar) Bireuen 200 hektare (Rp 1,330 miliar), Aceh Timur 150 hektare (Rp 997 juta), Aceh Barat 116 hektare (Rp 771,4 juta), Nagan Raya 110 hektare (Rp 731 juta), Aceh Barat Daya Rp 324 hektare (Rp 2,154 miliar), Aceh Singkil 200 hektare (Rp 1,9 miliar), Subulussalam 125 hektara (Rp 1,187 miliar), dan Aceh Jaya 70 hektare (Rp 465,5 juta).

Dari sembilan paket proyek cetak sawah baru tersebut, menurut Azharsyah, satu paket di antaranya yaitu di Aceh Jaya, batal dilaksanakan. Tapi anehnya, dalam laporan evaluasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh yang diperlihatkan kepada TAKPA, untuk paket proyek (Aceh Jaya) sudah ada realisasi fisik dan keuangannya masing-masing 40 persen. “Menurut T Azharsyah, terjadi kesalahan isi data. Yang benarnya proyek tersebut belum dikerjakan,” ujar Abdullah Madyah mengutip pengakuan Azharsyah.

Realisasi fisik proyek cetak sawah baru yang telah dilaksanakan berdasarkan evaluasi Distan Aceh sekitar 50-70 persen. Sedangkan realisasi keuangan antara 35-54 persen. Mengenai sejauh mana kebenaran data itu, pihak TAKPA akan mempertanyakan kepada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh.

Sawah baru Abdya
Mengenai persoalan proyek cetak sawah baru di Abdya, Azharsyah membenarkan informasi yang disiarkan koran ini bahwa proyek cetak sawah baru di Gampong Pante Cermin, Kecamatan Babahrot belum selesai dilaksanakan kontraktornya, PT Jabal Qubis Banda Aceh. Menurut Azharsyah, luas areal yang baru selesai dikerjakan sekitar 71 hektare dari 190 hektar yang telah ditebas semak belukar dan penebangan batang kayu di atas lahan yang akan dijadikan sawah.

Untuk menyelesaikan sisa pekerjaan itu, kontraktornya, Salahuddin (atas nama PT Jabal Qubis), telah membuat perjanjian tertulis dengan Dinas Pertanian Provinsi dan Abdya. Dalam surat perjanjian yang dibuat 1 Januari 2009, rekanan menyatakan siap menyelesaikan pekerjaan cetak sawah baru di Pante Cermin, Kecamatan Babahrot. Apabila tidak dikerjakan, bersedia ditindak sesuai ketentuan hukum. Anehnya, surat perjanjian yang dibuat Salahuddin dengan kuasa pengguna anggaran (KPA) serta Kadis Pertanian Abdya, menurut TAKPA tidak membuat batas waktu penyelesaian pekerjaan. Akibatnya, sampai bulan Mei 2009 ini, pihak kontraktor belum memenuhi janjinya untuk menyelesaikan sisa pekerjaan. Proyek cetak sawah baru yang belum selesai itu, menurut T Azharsyah, akan diluncurkan pada tahun anggaran 2009.

Dana disediakan lagi
Menurut perkiraan, persoalan serupa akan terjadi lagi pada proyek cetak sawah baru tahun 2009. Pihak TAKPA mencontohkan, dalam APBA 2009 untuk Aceh Tengah dialokasikan anggaran Rp 950 juta untuk cetak sawah baru seluas 100 hektare. Informasi dari T Azharsyah menyebutkan, SID (survey investigation design) dan DED (detail engineering design)-nya belum dibuat tetapi akan menggunakan SID lama yang diperbaharui dengan biaya Rp 15 juta, pengawasan Rp 28,5 juta, dan lainnya Rp 6,5 juta.

Koordinator Lapangan TAKPA, Abdullah Madyah mempertanyakan, jika sampai bulan ini SID dan DED-nya belum dibuat, kapan proyeknya bisa selesai dikerjakan. Padahal, katanya, sembilan paket proyek cetak sawah baru tahun 2008 yang bermasalah itu, SID/DED-nya telah dibuat tahun 2006 melalui sumber dana APBN. “Meski sudah dua tahun SID-nya dibuat, tetapi proyek fisiknya tetap saja tak selesai dengan alasan jadwal kerja yang diberikan KPA Proyek sangat terbatas, hanya tiga bulan (September-Desember 2008),” tandas Abdullah. Seharusnya, lanjut Abdullah Madyah, jika batas waktu kerja yang diberikan tidak cukup, rekanan jangan mau menerima pekerjaan sebelum ada kebijakan penambahan waktu.

Harus tanggung jawab
Petani pemilik lahan cetak sawah baru di Dusun Simpang Gadeng dan Dusun Mata Ie, Desa Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Abdya menuntut pelaksana proyek dan konsultan perencana bertanggungjawab terhadap kondisi sekitar 71 hektare lahan yang berantakan dan rusak akibat pekerjaan asal-asalan.

Tuntutan tersebut disampaikan Kepala Dusun Mata Ie Jaya, Abdul Muis dan Kepala Dusun Simpang Gadeng, Nasruddin menanggapi persoalan cetak sawah baru di wilayah tersebut. “Kontraktor dan konsultan perencana harus bertanggungjawab terhadap munculnya persoalan ini,” tandas Abdul Muis dibenarkan Nasruddin kepada Serambi, Rabu (13/5).

Ongkos tak dibayar
Selain menelantarkan pekerjaan, menurut Abdul Muis, kontraktor juga tidak membayar ongkos kerja kepada masyarakat. Seperti ongkos jaga alat berat Rp 3 juta lebih dan ongkos pembuatan pematang sekitar Rp 5 juta. Di samping itu, pelaksana proyek juga ingkar janji karena tidak memperbaiki kerusakan dinding pengaman jembatan yang menghubungkan Dusun Simpang Gedeng ke Dusun Mata Ie Jaya (rumoh seureutoh) dan gorong-gorong yang rusak akibat dilintasi alat berat pelaksana proyek.

Seperti diberitakan, proyek cetak sawah baru di Gampong Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Abdya dinilai seperti proyek asal-asalan sehingga petani menolak menerima proyek yang menguras dana miliaran rupiah dari sumber APBA 2008 tersebut. Menurut laporan yang diterima Serambi, selain terkesan asal-asalan, proyek itu juga diduga menyimpang dari kontrak sehingga petani menolak menerima. “Akibat proyek itu, lahan justru berantakan dan rusak,” lapor petani.(her/nun)

Fenomena Studi Banding Dewan


TRAS UTAMA: “Untuk melihat kemajuan dan mendapatkan berbagai masukan secara langsung guna diterapkan di Aceh!” Itulah alasan yang sering mengemuka ketika masyarakat bertanya-tanya apa sesungguhnya motif anggota dewan melakukan pelesiran hingga ke luar negeri. Diprotes atau tidak, studi banding jalan terus. Bahkan anggota DPRA nekat menganggarkan dana miliaran rupiah tahun ini untuk melakukan studi banding hingga ke Eropa? DPRK Banda Aceh pun tidak ketinggalan. Sekadar berfoya-foya atau memang ada manfaat nyata?

TRAS KHUSUS: Sungguh ironis, 39 persen rumah tangga di Kota Lhokseumawe dikategorikan miskin secara nasional. Yang membuat penasaran, ke mana dibawa uang bagi hasil minyak bumi dan gas alam yang sudah dikeruk dari perut Kota Lhokseumawe sejak puluhan tahun silam? Benarkah kekayaan kota berjulukan “Petro Dolar” itu hanya dinikmati segelintir orang? Kontras mengupasnya.

BUNGONG JAROE: Eropa tak hanya kaya akan keindahan arsitektur bangunan dan tata kotanya. Seperti halnya Aceh, cerita rakyat, legenda, tahyul, atau mitos juga melimpah ruah. Sebagiannya menjadi sejarah. Kisahnya banyak yang berkaitan dengan sisi gelap peradaban manusia.

SELISIK: Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) baru saja berakhir beberapa pekan lalu, namun ada pihak yang menduga UN kali ini sarat dengan kecurangan yang terorganisir, sistimatis, dan dikomandoi mulai dari dinas tingkat provinsi hingga kabupaten dan melibatkan guru sekolah di beberapa kabupaten. Separah itu kah?

Mantan Bupati Bireuen Jadi Tersangka Lagi

BIREUEN – Mantan Bupati Bireuen, Mustafa A Glanggang, Senin (11/5), kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kas bon jilid II. Kepastian tersebut diperoleh setelah Mustafa menjalani pemeriksaan selama delapan jam di Mapolres Bireuen pada hari yang sama. Kapolres Bireuen, AKBP T Saladin SH kepada Serambi, Kamis (14/5) mengatakan, setelah memanggil puluhan saksi selama beberapa bulan lalu polisi akhirnya menetapkan mantan Bupati Bireuen, Mustafa A Glanggang menjadi tersangka dalam kasus kas bon jilid II.

“Setelah kita panggil beberapa kali dan hasil pemeriksaan selama delapan jam pada Senin (11/5), Mustafa A Glanggang resmi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan pelanggaran penggunaan anggaran negara sewaktu masih bertugas,” kata Kapolres didampingi Kasat Reskrim, AKP Trisna Safari.

Sebelumnya, dalam kasus kas bon jilid pertama yang diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, 23 Februari 2009, Mustafa dihukum satu tahun penjara dengan hukaman percobaan dua tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta, uang pengganti Rp 510 juta dan uang Rp 1 miliar lebih dikembalikan ke kas daerah.

Menurut Kapolres, kasus kas bon jilid dua yang mulai diperiksa awal Oktober 2008 dan telah memeriksa 35 saksi dari berbagai kalangan mulai dari PNS, pengusaha, dan tokoh masyarakat. Selain itu, polisi juga menemukan barang bukti berupa tanda penerimaan uang melalui kas bon yang seluruhnya bernilai Rp 8 miliar lebih dan tanda bukti pengembalian dana kas bon sejumlah Rp 3 miliar lebih dalam beberapa tahap oleh tersangka.

“Kita dapatkan barang bukti berupa print out komputer, kuitansi, dan realisasi APBK Bireuen selama 2002-2008,” kata Kapolres seraya menyatakan dengan telah dilunasi sebagian, kerugian negara dalam kasus tersebut diperkirakan sekitar Rp 4 miliar. Dikatakan, Mustafa ditetapkan sebagai tersangka karena berdasarka hasil penyelidikan pihaknya dalam penarikan kas daerah ditemukan kejanggalan yaitu penarikan uang yang tidak melalui mekanisme resmi atau mengajukan SPP dan SPUM.

“Kuat dugaan berdasarkan hasil print out, penarikan uang walaupun dilakukan pihak lain atas permintaannya dilakukan tak melalui jalur resmi sebagaimana aturan bidang keuangan. Penarikan tanpa melalui prosedur adalah perbuatan melanggar hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara,” timpalnya.

Ditanya apakah ada kemungkinan tersangka akan bertambah, Kapolres mengatakan, sangat mungkin adanya tersangka lain yang terus dibidik yang kemungkinan orang dil uar jajaran Pemkab. “Sepertinya mengarah ke orang di luar Pemkab Bireuen. Tapi, kita akan terus dalami dan periksa,” kata Kapolres menambahkan dua orang saksi ahli dan saksi meringankan belum dimintai keterangan oleh pihaknya.

Saat ini, tambah Kapolres, pihaknya sedang mekengkapi berkas hasil pemeriksaan untuk diajukan ke Kejaksaaan Negeri (Kejari) Bireuen dan tersangka tidak ditahan. Tidak ditahannya tersangka, menurut Kapolres, karena semua barang bukti sudah ada dan tersangka sangat kooproratif dimana kapan dipanggil, ia selalu datang. “Ia (tersangka-red) tidak ditahan, tapi diwajibkan melapor seminggu dua kali ke Polres Bireuen sebelum berkasnya diajukan ke kejaksaan. Kalau berada di Banda Aceh, maka yang bersangkutan harus melapor ke Reskrim Polda Aceh,” jelas T Saladin.(yus)

Kamis, 14 Mei 2009

TAKPA Temukan Lagi 2 Kontraktor Nakal:

BANDA ACEH - Pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam mencairkan uang muka kerja (UMK) bagi para kontraktor yang akan mengerjakan proyek-proyek fisik di lingkup instansinya. Sebab, jika tidak maka bukan tidak mungkin, apa yang sekarang dialami Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, juga akan menimpa instansi-instansi lainnya di lingkungan Pemerintahan Aceh.

Ketua Tim Anti-Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), Ridwan Muhammad, mengatakan bahwa dua rekanan Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh yang memenangkan tender proyek APBA 2008 lalu, melarikan UMK proyek sebesar Rp 2,6 miliar yang baru dicairkannya. “Kedua perusahaan itu menarik uang muka masing-masing Rp 1,2 miliar pada 22 September 2008, dan Rp 1,4 miliar pada pada 12 Oktober 2008 lalu. Tapi, proyeknya dibiarkan terbengkalai,” katanya kepada Serambi, di Banda Aceh, Senin (11/5).

Didampingi, Koordinator Lapangan TAKPA Tgk H Abdullah Madyah, Ridwan mengungkapkan bahwa hal itu ketahui pihaknya dari laporan yang disampaikan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh Ir Sofyan, kepada Gubernur Irwandi Yusuf, pada 22 April lalu. “Dari sejumlah proyek fisik APBA 2008 yang dilaksanakannya, ada beberapa proyek yang sampai bulan April 2009 lalu belum selesai dikerjakan oleh kontraktornya. Di antaranya, proyek penyiapan prasarana dan sarana permukiman transmigrasi untuk 100 KK di Lango, Aceh Barat dengan nilai Rp 7,14 miliar,” katanya.

Dijelaskan, dari nilai kontrak tersebut, kontraktornya PT Galih Medan Persada telah menarik uang muka sebesar 20 persen atau senilai Rp 1,4 miliar. Namun sampai, 31 Maret 2009 lalu, realisasi fisik proyeknya baru mencapai 6,5 persen. Sedangkan surat perjanjian pemborongannya telah dikeluarkan 20 Agustus 2008 lalu. “Ini artinya masa kerja, 31 Desember 2008 lalu sudah terlampui tiga bulan, tapi proyek yang diborong belum juga selesai dikerjakan,” sebut Ridwan Muhammad.

Menurutnya, kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Nagan Raya. Proyek penyiapan prasarana dan sarana permukiman bagi 100 KK transmigran di Beutong Ateuh, Nagan Raya, dengan nilai proyek Rp 6,3 miliar, hingga kini juga terbengkalai karena tidak diselesaikan oleh kontraktornya PT Kemasa. “UMK yang telah ditarik Rp 1,2 miliar atau 20 persen dari total nilai proyek. Tapi realisasi fisik proyeknya sampai 31 Maret lalu baru 1 persen, sedangkan surat perjanjian pemborongan telah dikeluarkan 15 Agustus 2008 lalu,” ujarnya.

Tempuh jalur hukum
Sementara itu, menurut Koordinator Lapangan TAKPA Tgk H Abdullah Madyah, berdasarkan hasil pengecekan lapangan oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), seperti dilaporkan Kadis Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk kepada Gubernur Aceh, kedua kontraktor yang memborong kedua proyek tersebut telah meninggalkan lokasi pekerjaannya. “Jadi, untuk mencegah kerugian keuangan daerah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan PPTK dari kedua proyek tersebut, kita harapkan dapat menempuh jalur hukum,” kata Abdullah Madyah.

Menurut Abdullah Madyah, motif melarikan uang tanpa melanjutkan pekerjaan proyeknya, kerap dilakukan oleh orang-orang yang suka meminjam perusahaan orang lain untuk mendapat pekerjaannya. Kasus ini, katanya, pernah dialami BRR, dua tahun lalu seperti itu, pelakunya bukan pemilik perusahaan, melainkan peminjam perusahaan. “Ini perlu menjadi pelajaran bagi pengusaha di Aceh, agar jangan suka meminjamkan perusahannya kepada orang yang tidak punya modal dan peralatan kerja,” katanya.

Sebelum kasus ini terjadi, kata Abdullah Madyah, jauh hari sebelum TAKPA, telah mengingatkan SKPA yang melakukan tender proyek APBA 2008 untuk lebih berhati-hati lagi dalam memilih dan menetapkan pemenang proyek APBA 2008. “Karena dari hasil pengalaman BRR, jumlah proyek yang berkinerja buruk yang kemudian terpaksa di-black list cukup banyak, mencapai ratusan perusahaan baik kecil maupun perusahaan besar,” pungkasnya.(her)

Anggota Dewan Akan Berhadapan dengan Hukum

LANGSA - Para anggota DPR kabupaten/kota yang belum mengembalikan dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) ke kas masing-masing daerah secara utuh, terancam akan berhadapan dengan hukum. “Hal itu diatur dalam surat Menteri Dalam Negeri yang ditandatangani H Mardiyanto dan ditujukan kepada masing-masing Gubernur seluruh Indonesia. Karena itu kita berharap para anggota DPRK Aceh Timur tidak main-main dalam persoalan ini,” ujar Ketua Badan Pekerja Gerakan Solidaritas untuk Aceh Timur (GaSAT), Salamuddin kepada Serambi Rabu (13/5).

Dalam surat itu, Mendagri menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan reguler Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri di lingkungan pemerintah provinsi dan laporan dari sejumlah inspektorat provinsi ditemukan adanya tunggakan pengembalian tunjangan komunikasi intensif dan biaya penunjang operasional (BPO) untuk pimpinan dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode masa bakti 2004-2009.

Dalam surat itu pula, Mendagri meminta perhatian semua gubernur se-Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis dan mengupayakan pengembalian dana TKI termasuk tunggakan keuangan lainnya. “Pada poin ketiga surat tersebut, Mendagri menyatakan, apabila sampai batas waktu yang ditetapkan dalam PP N0 21 Tahun 2007 dan Pepmendagri N0 21 Tahun 2007, pimpinan dan anggota DPRD terkait yang belum juga melunasi penyelesaiannya dilimpahkan kepada aparat penegak hukum,” ujar Salamuddin.

Informasi yang dihimpun Serambi, hingga saat ini sebanyak 29 dari 30 anggota DPRK Aceh Timur belum mengembalikan dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) ke kas daerah setempat secara utuh. Padahal masa tugas mereka akan segera berakhir pada Agustus 2009 mendatang. Dari sejumlah nama anggota dewan yang belum melunasi TKI itu, dipastikan tidak terpilih lagi menjadi anggota dewan pada Pemilu legislatif 9 April 2009, sehingga dikhawatirkan dana itu akan ikut “terbang” bersama dengan keluarnya mereka dari gedung dewan.

Cicilan
Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRK Aceh Timur, Drs Burhanuddin MM yang dikonfirmasi Serambi siang kemarin mengatakan, hingga kemarin baru satu orang anggota dewan yakni Tgk Ismuha dari Fraksi PKS yang sudah mengembalikan dana TKI. Sedangkan 29 anggota dewan lainnya masih dalam proses pengembalian dengan cara mencicil. “Mereka sedang mencicilnya. Hanya anggota dewan PKS yang sudah mengembalikan secara utuh,” ujarnya.

Anggota DPRK dari PKS, Tgk Ismuha yang ditemui Serambi di gedung DPRK Aceh Timur di Langsa, mengakui dirinya sudah mengembalikan dana TKI dimaksud. “Kami langsung mengembalikannya ketika itu, masih untung juga sekarang tidak perlu pusing-pusing untuk membayar utang,” katanya.(is)

Jumat, 08 Mei 2009

Bank Dunia Terkesan pada Kemajuan Aceh


BANDA ACEH - Wakil Presiden Bank Dunia (World Bank) untuk Regional Asia Pasifik, James W Adams, menyatakan sangat terkesan pada kemajuan pembangunan di Aceh yang dinilainya menuju ke arah positif. “Bank Dunia telah membuat investasi yang luar biasa di Aceh. Semua orang telah bekerja keras di Aceh untuk membuat perbedaan seperti sekarang ini. Saya pikir, Anda telah membawa Aceh ke arah yang positif,” ujar James W Adams kepada Gubernur Irwandi Yusuf di ruang kerja Gubernur Aceh, Kamis (7/5).

Menurut James, kemajuan positif yang tercipta di Aceh telah meningkatkan harapan pihaknya untuk terus melanjutkan kerja sama membangun Aceh ke arah yang lebih baik lagi. “Mungkin 10-20 tahun yang lalu, kami ragu membantu Aceh dikarenakan konflik yang berlangsung di sini. Tapi setelah tsunami kini situasinya sungguh berbeda. Kami sangat senang bila dapat membantu Anda untuk selanjutnya,” ungkap James lagi-lagi kepada Irwandi, seperti dilansir siaran pers yang dikirim Koordinator Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang Komunikasi, Alfian Kandang kepada Serambi.

Wapres Bank Dunia juga menyampaikan bahwa apa yang diperoleh oleh Aceh saat ini memang belum cukup. Ia mengharapkan agar Pemerintah Aceh dapat menyampaikan program-program yang akan dilakukan Pemerintah Aceh ke depannya, sehingga dapat dibantu dengan dukungan dana Multidonor Fund (MDF) selanjutnya. Pertemuan Gubernur Irwandi Yusuf dengan Wapres Bank Dunia itu berlangsung sekitar 20 menit di ruang rapat Kantor Gubernur Aceh. Dalam pertemuan itu, kedua belah pihak membicarakan kelanjutan bantuan yang diberikan Bank Dunia untuk pembangunan Aceh. Pertemuan itu juga dihadiri Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg serta Ketua Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA), Ir Iskandar MSc.

Dalam pertemuan itu Gubernur Aceh menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Bank Dunia atas bantuan-bantuan yang telah diberikan selama ini kepada rakyat dan Pemerintah Aceh. Gubernur juga menyampaikan bahwa bantuan MDF yang disalurkan melalui World Bank tersebut telah membantu memulihkan kondisi Aceh yang rusak parah akibat gempa dan tsunami.

Menurutnya, bantuan Bank Dunia tersebut telah memudahkan pemerintahannya membawa Aceh dari kondisi yang buruk menjadi lebih baik. “Gubernur mengharapkan agar dalam bantuan MDF yang disalurkan melalui World Bank selanjutnya juga dapat mencakup infrastruktur, pembangunan ekonomi, bantuan teknis dan dukungan untuk blueprint masterplan percepatan pembangunan Aceh ke depan, serta Program Aceh Hijau (Aceh Green) untuk memudahkan pemerintah dalam membawa Aceh ke arah yang lebih baik dari sekarang,” tulis Alfian dalam siaran pers itu.

Disebutkan juga bahwa dalam pertemuan itu Irwandi menekankan bahwa visi Aceh Hijau yang dijalankannya sekarang telah berhasil menghentikan lima konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) besar dari pemerintahan sebelumnya, di mana lebih dari 500.000 hektar hutan Aceh telah dapat diselamatkan dari ancaman pengrusakan. Bantuan MDF tahap pertama yang disalurkan Bank Dunia untuk Aceh akan berakhir pada tahun 2012 dan mencakup lima sektor utama, yaitu infrastruktur, community development, lingkungan, pembangunan ekonomi, serta capacity building. Sementara dukungan untuk bantuan MDF tahap selanjutnya sedang menjadi bahan diskusi antara Pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia. (nal)

Kabinet Irwandi Minim Prestasi

BANDA ACEH - Kabinet baru Pemerintah Aceh (Kabinet Irwandi) yang penjaringannya melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) dan dilantik Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pada 11 Maret 2008, dinilai kalangan DPRA tidak berprestasi. Kalaupun ada, tergolong minim. Penilaian ini muncul berdasarkan hasil kunjungan kerja (kunker) Panitia Khusus (Pansus) APBA 2008 pada Maret 2009 ke 23 kabupaten/kota se-Aceh.

Dalam kunker tersebut ditemukan banyak proyek fisik yang tidak dapat diselesaikan sampai Maret 2009, di samping belum memenuhi standar, dan berindikasi terjadi tindak pidana korupsi. Terkait dengan penilaian DPRA tersebut, Gubernur Irwandi Yusuf yang dikonfirmasi, Jumat (8/5), mengatakan banyaknya proyek 2008 yang belum selesai hingga Maret 2009 lalu, karena pekerjaan dan anggaran yang diberikan kepada kabinet barunya itu terlalu besar, melebihi jumlah dua tahun sebelumnya.

Selain itu, waktu kerja efektif yang tersedia sangatlah terbatas. “Sehingga, pada waktu Pansus DPRA melakukan evaluasi proyek APBA 2008, ditemukan banyak proyek belum selesai yang harus dilanjutkan pada tahun ini,” ujarnya. Juru Bicara (Jubir) Pansus III DPRA, H Zainal Arifin, mengatakan Kabinet Pemerintah Aceh yang personelnya direkrut melalui mekanisme fit and proper test dan dilantik 11 Maret tahun lalu, belum berprestasi, malah jika dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, kinerjanya lebih buruk. “Ini penilaian Pansus III DPRA,” tukasnya.

Ia bandingkan, pada tahun 2006 daya serap belanja pembangunan APBA 2006 mencapai 91,24 persen dan tahun 2007 sekitar 77,53 persen. Sedangkan daya serap APBA 2008 sampai akhir Desember 2008 baru 67,21 persen dari pagu yang disediakan Rp 8,5 triliun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kinerja para asisten, kepala dinas, badan, dan biro yang penjaringannya dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh sebuah tim independen yang ditunjuk Gubernur Irwandi, belum memberikan nilai positif bagi masyarakat.

Buktinya, ungkap Zainal Arifin, dari sejumlah proyek fisik APBA 2008 yang ditinjau Pansus III DPRA di tiga kabupaten/kota (Sabang, Banda Aceh, dan Aceh Besar), masih banyak yang belum selesai dikerjakan 100 persen sampai Maret 2009. Salah satu contoh yang diutarakan oleh politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini pembangunan Musala SMU Unggul Sabang. Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh melaporkan kepada pansus secara tertulis bahwa pekerjaannya telah selesai 100 persen, tapi fakta di lapangan, masalanya belum berplafon dan lantainya belum disemen. Sedangkan anggaran yang dialokasikan lumayan besar, mencapai Rp 878,7 juta.

Kasus lainnya di sekolah yang sama adalah program bantuan buku paket. Dilaporkan telah disalurkan sesuai jumlah buku yang diorder, tapi menurut Kepala SMU Unggul Sabang saat pansus mengunjungi sekolah itu Maret lalu, masih banyak buku paket bantuan yang belum diberikan rekanan pemasok. Di Banda Aceh Pansus III DPRA menemukan biaya pembebasan tanah untuk perbaikan drainase kota senilai Rp 75 miliar, justru dibayar melampui tahun anggaran 2008. Konkretnya, kepada pemilik tanah baru dibayar pada Februari dan Maret 2009. Diduga, ada pengendapan uang beberapa bulan.

Jubir Pansus IV DPRA, Bustanul Arifin, menyorot program pengembangan tanaman coklat (kakao) di Pidie Jaya dan Pidie yang belum berjalan baik. Menurut laporan kelompok tani penerima bibit, masih banyak petani yang belum menerima bantuan bibit coklat. Misalnya, program pengembangan 3.000 hektare (ha) tanaman coklat dengan jumlah pengadaan bibit 3 juta batang. Program serupa juga ada yang bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Pidie Jaya, dengan target 100 ha. Menurut laporan kelompok tani setempat kepada Pansus IV DPRA, banyak bibit yang belum disalurkan rekanan kepada petani.

Usut segera
Jubir Pansus V DPRA, Nazaruddin Ibrahim, menyarankan kepada Gubernur Irwandi Yusuf segera mengusut berbagai dugaan penyimpangan dan penyelewengan dana APBA 2008 dalam pelaksanaannya di lapangan. Instrumen pemeriksa internal Pemerintah Aceh, yakni Inspektorat dan Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) diturunkan ke berbagai lokasi pelaksanaan APBA 2008 yang sampai kini belum selesai untuk diketahui masalahnya. “Jika ada yang terindikasi bermasalah secara hukum, maka Gubernur Aceh melalui auditor internalnya, yakni Inspektorat dibantu TAKPA segera melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti secara hukum pula,” cetusnya.

Gubernur Irwandi Yusuf yang dikonfirmasi saat rehat Sidang Paripurna Laporan Pansus DPRA kemarin kepada Serambi mengatakan, penilaian Pansus III DPRA dan pansus lainnya terhadap kinerja kabinetnya belum baik, dapat dia pahami. Namun demikian, kata Irwandi, banyaknya jumlah proyek APBA 2008 yang belum selesai pada akhir tahun lalu, harus dilihat secara proporsional dan tidak sepihak, apalagi secara parsial. Pagu APBA 2008 senilai Rp 8,5 triliun, menurutnya, baru disetujui DPRA pada akhir Mei 2008. Setelah pagu APBA-nya disetujui DPRA, langsung dibawa ke Mendagri untuk diperiksa, apakah semua program pembangunan yang dibiayai sudah memenuhi ketentuan dasar dari penyusunan APBD atau belum.

Pemeriksaan oleh Mendagri menghabiskan waktu dua minggu dan baru dikembalikan ke Aceh pada akhir Juni. Dari Mendagri, dibuat kembali daftar kegiatan anggaran (DPA)-nya oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Untuk membuat DPA, memakan waktu sebulan, sehingga tender proyek APBA 2008 baru dilakukan pada bulan Agustus dan September.

Jika tendernya bulan September, sudah pasti pengumuman pemenangnya baru terealisasi pada Oktober 2008. Ini artinya, masa kerja proyek APBA 2008 tinggal dua bulan lagi. Jadi, jika sampai bulan Maret 2009 --saat Pansus DPRA melakukan evaluasi pelaksanaan APBA 2008-- ditemukan banyak proyek yang belum selesai dikerjakan, faktornya ya karena itu tadi, masa kerja proyek sangat terbatas.

“Tapi sekarang, sudah banyak proyek yang diselesaikan kontraktor,” ujar Gubernur Irwandi. Mengenai dugaan proyek yang dikerjakan belum memenuhi spek teknis dan ada yang terindikasi dikorupsi, Irwandi Yusuf menyatakan akan memerintahkan TAKPA sebagai perpanjangan tangannya dalam mengawasi pelaksanaan APBA bersama Inspektorat untuk mengusut seluruh temuan Pansus DPRA tersebut.

Dalam pengusutan nanti, kata Irwandi lebih lanjut, jika ditemukan ada yang terindikasi korup, maka ia akan perintahkan TAKPA dan Inspektorat Provinsi Aceh untuk menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik untuk ditindaklanjuti secara hukum. “Ini sudah menjadi komitmen Pemerintah Aceh,” tegasnya. Oleh karena itu, kata Irwandi, pejabat Aceh yang lalai serta melanggar janji maupun sumpah jabatan saat dilantik dulu, tunggu saja akibat dari perbuatannya. “Cepat atau lambat, pasti akan diketahui penyidik dan publik,” demikian Irwandi Yusuf. (her)

Rabu, 06 Mei 2009

Soal Korupsi APBD Agara ‘Irwandi Membantah’


Banda Aceh | Harian Aceh--Gubernur Aceh Irwandi Yusuf membantah pernyataan mantan Bupati Aceh Tenggara Armen Desky. Gubernur mengaku tak bermaksud menjebloskan Armen ke penjara akibat tidak mendukungnya pada Pilkada lalu.

Menurut Irwandi, Armen ditangkap KPK karena terbukti melakukan korupsi APBD Aceh Tenggara 2004-2006. “Saya memang melaporkan dia ke KPK bersama enam bupati lainnya dengan bukti-bukti yang kuat, juga atas dasar temuan BPK yang merugikan uang negara,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Irwandi, Armen juga terlibat dalam kasus illegal logging di Aceh Tenggara. “Dia judi cukong kayu juga sudah jadi rahasia umum di Aceh,” sebutnya.

Irwandi menegaskan, ditangkapnya Armen oleh KPK juga bukan semata atas laporannya. Menurutnya, KPK lembaga independen yang profesional dan penangkapan itu juga berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkan KPK.

“Berdasarkan bukti-bukti itulah yang kemudian dilanjutkan ke penyidikan. Kemudian dijadikan tersangka, KPK juga tidak berurusan dengan politik,” ujar gubernur. “KPK menangkap orang bukan atas desakan, perintah, suruhan, intimidasi, pengaruh seseorang, pengaruh lembaga, anjuran seseorang dan sebagainya. Mereka profesional,” lanjutnya.

Terkait pernyataan Armen bahwa Irwandi melaporkannya akibat sakit hati karena tidak mendukung saat Pilkada, Irwandi menyatakan hal itu sama sekali tidak benar. “Armen bahkan pernah menyumbang dana sebesar Rp8 juta ke tim sukses kami saat Pilkada lalu. Saya pribadi juga tidak membutuhkan dukungan dia secara personal, tapi saya butuh dukungan masyarakat,” sebutnya.

Irwandi mengaku selama ini hubungannya dengan Armen secara personal baik. “Meskipun saya belum lama kenal dia,” tukasnya.(rta)

10 Jam Geledah, KPK Sita 30 Folder Dokumen


VIVAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya selesai menggeledah kantor rekanan PLN, PT Netway Utama. Dari hasil penggeledahan, penyidik menyita sekitar 30 rak dokumen dan salinan data dari komputer.

Penggeledahan yang dilakukan di PT Netway Utama, Gedung Plaza Sentral, Jakarta, berlangsung sejak pukul 10.25 dan berakhir sekitar pukul 20.30, Selasa 5 Mei 2009. PT Netway Utama merupakan rekanan PLN di bidang aplikasi jaringan teknologi informasi.

Penggeledahan terkait penyidikan kasus dugaan korupsi outsoursing CMS basis teknologi PLN. Negara diduga dirugikan Rp 80 miliar.

Usai menggeledah, terlihat 10 penyidik KPK membawa sekitar 30 rak dokumen. "Kami juga menyalin data dari komputer," ujar salah satu penyidik kepada VIVAnews.

Selain menggeledah PT Netway, KPK juga menggeledah rekanan PLN lainnya, PT Invision Green Energy Solution. Penggeledahan di kantor rekanan ini berakhir sekitar pukul 14.30. Penyidik menyita sejumlah dokumen yang dimasukkan ke kardus kecil.

Dalam kasus ini, KPK juga sudah menetapkan General Manager Perusahaaan Listrik Negara Distribusi Jawa Timur Hariyadi Sadono sebagai tersangka. Hariyadi dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korups

Oknum Anggota Dewan ‘Borong’ Proyek PL

BIREUEN - Setelah periode lalu dituding membagi-bagikan proyek aspirasi kepada para koleganya, kini giliran sekitar 54 proyek PL (penunjukan langsung) yang nilainya diperkirakan mencapai Rp 4,5 miliar diduga kuat telah “diborong” oknum anggota DPRK Bireuen, dengan dalih untuk menampung aspirasi masyarakat pada akhir masa jabatannya.

Informasi yang diperoleh Serambi, Selasa (5/5), belasan anggota dewan Bireuen, dipengujung masa tugasnya telah meninggalkan kesan bobrok karena “merampas” sejumlah proyek PL yang ada di kabupaten setempat. Bahkan, disebut-sebut ada beberapa di antara anggota dewan itu mendapatkan sekitar sembilan paket proyek PL, yang juga disebut-sebut dikerjakan oleh mereka sendiri.

Ketua Forum Koalisi Aksi Masyarakat Aceh Reformasi (F-KAMAR) Bireuen, Abdul Manan Isda kepada Serambi, kemarin, mengungkapkan, berdasarkan hasil temuan pihaknya, proyek PL yang “diserobot” oknum belasan anggota DPRK Bireuen kali ini meliputi pembangunan jalan dan jembatan di pedesaan yang nilainya diperkirakan sekitar Rp 3,917 miliar lebih dan untuk pembangunan drainase Rp 665,535 juta, sehingga totalnya Rp 4,583 miliar lebih. “Rata-rata proyek itu bernilai Rp 95 juta,” katanya.

Mengacu pada kenyataan itu, lanjut Abdul Manan, anggota DPRK Bireuen telah memperlihatkan perilaku rakus dan tamak. Padahal, mereka tidak lama lagi akan lengser dari wakil rakyat. “Anggota DPRK Bireuen ingin meraup fee dari proyek tersebut dengan modus monopoli secara terselubung,” ujarnya.

“Mereka sengaja mengkavling proyek PL berkedok aspirasi, lalu menunjukkan rekanan tertentu. Kami belum tahu apakah ini ada kesepakatan yang dicapai bersama eksekutif, karena ini bukan aspirasi. Tapi, untuk sementara kasus ini dapat digolongkan kepada konspirasi busuk untuk meraup keuntungan pribadi oknum anggota DPRK,” sebutnya.

Sementara Wakil Bupati Bireuen, Busmadar Ismail didampingi Sekda, Nasrullah Muhammad, kepada wartawan di Pendapa Bupati Bireuen, Selasa (5/5), mengatakan, pihaknya tidak tahu persoalan itu dan membantah sinyalemen yang berkembang bahwa masalah itu telah mendapat persetujuan dari pihaknya. “Masalah ini kami tidak tahu, pihak yang melakukan itu tanggung jawab mereka,” kata Wabup singkat.

Sementara Ketua DPRK Bireuen, Ridwan Khalid yang ditanya Serambi kemarin sore melalui telepon seluler mengatakan, dirinya belum tahu persoalan tersebut kendati dalam daftar anggota dewan yang diduga “main proyek”, namanya tercatat memiliki tiga paket proyek PL itu, yaitu pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya.

Menurut Ridwan, dirinya tak merekomendasi kebijakan seperti itu. Bila memang ada ketimpangan, ia mengharapkan pihak yang berwenang untuk mengusut dan menindaklanjuti kasus ini. “Saya rasa itu hanya aspirasi anggota dewan, jika memang sudah ada nama rekanan saya belum tahu. Kami pernah mengusulkan 20 paket proyek, tapi hanya tiga yang disetujui melalui saya. Secara aturan, tidak dibenarkan anggota dewan menentukan rekanan,” katanya.(muk)

Presiden Segera Berhentikan Antasari

BALI - Juru Bicara Presiden, Andi Malarangeng mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan segera mengeluarkan Keppres pemberhentian sementara Ketua KPK, Antasari Azhar yang kini menjadi tersangka kasus pembunuhan. “Kita masih menunggu surat Kapolri atau KPK. Jika sudah diterima, presiden akan menjalankan ketentuan seperti ditetapkan UU. Kalau tersangka diberhentikan sementara, kalau terdakwa atau bersalah diberhentikan secara tetap,” kata Andi di sela-sela kegiatan mendampingi presiden di Jimbaran, Selasa (5/5).

Menurutnya, surat pemberitahuan resmi mengenai status tersangka Antasari bisa berasal dari kepolisian atau juga dari KPK yang menyatakan ketuanya sudah berstatus tersangka sehingga presiden harus mengeluarkan tindakan pemberhentian sementara. Mengenai informasi yang menyatakan kasus ini merupakan konspirasi politik untuk “menggoyang” Presiden Yudhoyono, Andi mengatakan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. “Bagi kami, kita serahkan kepada polisi secara profesional dan adil. Ungkapkan dan tuntaskan semua yang terlibat. Jangan dikaitkan dengan politik, hukum ya hukum. Ungkap sesuai bukti-buktinya. Silakan polisi tuntaskan, dalam proses pengadilan semua akan terlihat,” katanya. Antasari ditahan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Senin (4/5) karena menjadi salah satu tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen.

10 pertanyaan
Antasari Azhar, Selasa (5/5) menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya dengan status sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan tersebut, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif ini dicecar 10 pertanyaan. “Sepuluh pertanyaan diberikan kepada Antasari,” kata kuasa hukum Antasari, Juniver Girsang, saat ditemui di Polda Metro Jaya, Selasa (5/5). Dia menambahkan, pertanyaan yang diberikan belum masuk pada materi penyidikan. “Besok sudah masuk dalam materi penyidikan. Mengenai ruangan pemeriksaan, itu terserah tim penyidik,” tukas Juniver.

Sebelumnya, Antasari meminta untuk tidak menjalani pemeriksaan pada pagi harinya lantaran ingin beristirahat. Namun, akhirnya pada pukul 16.00 WIB hingga pukul 18.46 WIB, Antasari pun menjalani pemeriksaan juga. Mengenai kabar Antasari depresi, Juniver membantah keras. Dia menegaskan kalau kliennya baik-baik saja. “Bahwa yang dikatakan dirinya (Antasari) depresi itu tidak benar, beliau sehat-sehat saja. Antasari sudah siap diperiksa,” tukas dia.

Tak hanya kabar itu saja, Juniver juga membantah keterlibatan Antasari Azhar sebagai dalang pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen. “Itu tidak benar kalau AA dalang. Belum ada bukti kalau AA bersalah,” pungkasnya. Ketika diperiksa di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Antasari mengenakan kemeja lengan pendek berwarna oranye bertuliskan tahanan, celana piyama selutut bermotif garis-garis biru putih, dan sendal jepit berwarna biru.

Mantan Kapolres
Sementara itu status mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Pol Wiliardi Wizard, yang menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PBR, Nasrudin Zulkarnaen, menunggu putusan pengadilan. “Tunggu proses pengadilan,” kata Kepala Divisi Humas (Kadiv Humas) Mabes Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira, di Jakarta, Selasa.

Mantan Kapolres Jaksel tersebut, telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Dirut PT PRB. Penetapan itu bersama sembilan tersangka lainnya, termasuk Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Antasari Azhar. Ketika ditanya keterlibatan perwira menengah di kepolisian itu terhadap kasus pembunuhan tersebut, ia belum bisa memberikan keterangan. “Saat ini pemeriksaannya sudah diserahkan dari Propam Mabes Polri ke Reserse Kriminal (Reskrim) Polda Metro Jaya,” katanya.

Seperti diberitakan, para tersangka dalam kasus kematian Dirut PRB tersebut masing-masing D (eksekutor), HS (joki motor), FT alias AM (pemantau lapangan di dalam mobil), HKW (pemberi order), Edo alias AN (penerima order), Jeri alias J (penghubung dengan WW), SHW sebagai penyandang dana, WW penghubung ke AA. Kasus pembunuhan itu terjadi 14 Maret 2009, di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang.(okezone/ant/nas)

Selasa, 05 Mei 2009

Antasari Tersangka, Pimpinan KPK Harus Bergerak Cepat


JAKARTA, KOMPAS.com — Penetapan status tersangka dan ditahannya Ketua KPK nonaktif, Antasari Azhar, kemungkinan akan ditindaklanjuti dengan pemberhentian sementara. Jika Presiden mengeluarkan surat pemberhentian sementara, anggota Komisi III, Lukman Hakim Saiuddin, mengatakan, empat pimpinan KPK lain harus bergerak cepat menentukan siapa yang mengambil alih tugas ketua.

"Sebenarnya untuk kerja tidak masalah karena pimpinan KPK itu kan bersifat kolektif. Hanya, jika diberhentikan sementara, pimpinan KPK harus segera mencari dan menentukan siapa yang diserahkan fungsi dan tugas Ketua KPK," kata Lukman saat dihubungi Kompas.com, Selasa (5/5) pagi.

Lukman juga menjelaskan, jika yang bersangkutan mengundurkan diri atau berhenti permanen dari jabatan tersebut, sesuai UU, Presiden harus mengajukan dua nama kepada DPR. "Nanti DPR yang akan memilih," katanya.

Berkurangnya satu orang komisioner, menurut Lukman, tidak akan menghambat kerja KPK. Komisi III sebagai mitra kerja KPK siang ini akan melakukan pembahasan internal terkait kasus yang menyeret Antasari sebagai tersangka kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

100.000 Yatim Bakal tak Terima Beasiswa Tahun Ini

4 May 2009, 14:43 Utama Administrator
BANDA ACEH - Kalangan DPRA menyerukan kepada Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) agar segera merevisi pos dana pendidikan yang terdapat dalam APBA 2009 sebesar Rp 1,290 triliun, menyusul turunnya Rp 783 miliar penerimaan dana tambahan bagi hasil minyak dan gas (migas) Aceh tahun 2009. Semula jumlahnya diprediksi Rp 1,317 triliun, tapi ternyata kini hanya Rp 533 miliar saja sebagai dampak dari turunnya harga migas dunia.

Ketua DPRA, H Sayed Fuad Zakaria, menilai penting dan mendesak usulan revisi alokasi dana pendidikan itu dilakukan supaya penyaluran bantuan beasiswa kepada 100.000 anak yatim piatu, fakir miskin, dan anak putus sekolah di Aceh pada tahun ajaran 2009/2010 ini tidak putus atau tertunda. “Kalau itu tidak segera dilakukan, maka 100.000 yatim di Aceh bakal tidak menerima beasiswa tahun ini,” ujarnya menjawab Serambi di Banda Aceh, Minggu (3/5).

Pandangan serupa juga dilontarkan Ketua Komisi F (Bidang Pendidikan/Syariat Islam) DPRA, H Burhanuddin SH. Ia juga menambahkan bahwa yang mengolah data program bantuan sekolah untuk anak yatim piatu pada tahun 2009 ini adalah Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan Telematika (Dishubkomintel) Aceh. Bantuan tersebut diplot untuk anak yatim piatu, fakir miskin, dan putus sekolah di Aceh sebanyak 100.000 anak. “Jumlah ini naik sebesar 20 persen dibanding yang disalurkan tahun lalu untuk 80.000-an anak,” ujarnya.

Sebagaimana diberitakan terdahulu, akibat menurunnya prediksi penerimaan dana tambahan bagi hasil migas Aceh tahun ini berdasarkan Peraturan Menkeu Nomor 52/PMK.07/2009 tanggal 23 Maret 2009, Aceh diperkirakan hanya akan menerima Rp 533 miliar. Hal ini disebabkan turunnya harga minyak dunia yang tahun lalu di atas 100 dolar AS/barel, tapi tahun ini melorot jadi 45-50 dolar AS/barel.

Kecuali itu, volume ekspor gas Aceh dari PT Arun tahun ini juga ikut menurun, sejalan dengan menurunnya hasil eksploitasi migas di ladang gas ExxonMobil di Aceh Utara, Aceh Timur, dan sumur minyak bumi Pertamina yang terdapat di Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Di sisi lain, berdasarkan Pasal 182 ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), paling sedikit perolehan dana tambahan bagi hasil migas Aceh sebesar 30 persen harus dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan di Aceh.

Menyikapi hal itu, Ketua Komisi C DPRA, Bustami Puteh, mengatakan kenapa TAPA perlu segera melakukan revisi anggaran berbagai program serta kegiatan pendidikan yang terdapat dalam APBA 2009, sebab sumber dana untuk pembiayaannya telah menurun sangat besar. TAPA dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRA dalam APBA 2009 awalnya memprediksi, dari tambahan dana migas bisa diperoleh uang Rp 1,317 triliun. Jika dikali dengan 30 persen untuk pembiayaan pendidikan, maka nilainya Rp 390 miliar. Tapi nyatanya sekarang, setelah dikoreksi Menkeu, alokasi anggaran untuk pendidikan dari penerimaan tambahan bagi hasil migas tidak lagi Rp 390 miliar, melainkan turun menjadi Rp 160 miliar.

Penerimaan dari tambahan dana bagi hasil migas tersebut belum cukup untuk membiayai penyaluran bantuan sekolah bagi 100.000 anak yatim piatu yang total nilainya mencapai Rp 180 miliar (Rp 1,8 juta/tahun/anak). Oleh karena itu, kata Bustami Puteh, sebelum memasuki tahun ajaran baru 2009/2010 pada Juli mendatang, maka TAPA bersama Bappeda Aceh, Dinas Pendidikan, dan Dishubkomintel Aceh selaku dinas yang mengolah data bantuan sekolah untuk anak yatim piatu di Aceh, perlu mencari solusi bersama guna mencukupi alokasi dana bantuan sekolah untuk 100.000 anak yatim piatu yang akan dibantu tahun ini.

Honor guru bantu
Selain masalah bantuan sekolah untuk anak yatim piatu, ungkap Bustami Puteh, dengan menurunnya penerimaan daerah dari sumber dana tambahan bagi hasil migas itu, maka pembayaran honorarium guru bantu di Aceh yang jumlahnya sekitar 2.000 orang, delapan bulan ke depan bisa terhambat.

Begitu pula pembayaran insentif guru dari provinsi yang nilainya Rp 200.000/bulan untuk 10 bulan/orang guru. Karena itu, Bustami Puteh menyerukan kepada TAPA, Bappeda, dan dinas teknis yang menyelenggarakan pendidikan serta pendataan bantuan sekolah anak yatim piatu, agar segera mengambil langkah penanganan yang relevan. Misalnya, merevisi program dan kegiatan pendidikan.

Selain itu, dahulukan program yang terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dan program wajib sekolah di Aceh secara langsung. Misalnya, bantuan sekolah untuk anak yatim piatu, honor guru bantu provinsi, dan insentif guru, serta program pendidikan wajib sekolah dari SD/MIN, SMP/MTsN, sampai MAN/SMA/SMK. “Program ini jauh lebih penting,” imbuh Bustami, politisi Partai Amanat Nasional (PAN).

Reaksi gubernur
Menyikapi hal itu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, berdasarkan surat telahaan dari Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh, T M Lizam, yang disampaikan kepada Gubernur pada 14 April 2009, telah memerintah Bappeda Aceh untuk meninjau kembali berbagai program dan kegiatan pendidikan yang masuk dalam APBA 2009 yang sumber biayanya berasal dari penerimaan dana tambahan bagi hasil migas.

Tujuan revisi itu dilakukan, menurut Gubernur Irwandi, supaya dalam pelaksanaannya nanti tidak terhambat oleh ketiadaan sumber dana, sebagai dampak dari melesetnya perkiraan penerimaan dana tambahan bagi hasil migas yang disepakati dalam APBA 2009. Dalam APBA disepakati sebesar Rp 1,317 triliun, sama dengan prediksi tahun 2008. Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPRA, Sulaiman Abda, menilai penurunan prediksi penerimaan dana tambahan bagi hasil migas tahun ini membawa dampak luas. Tidak hanya APBA 2009 yang harus direvisi kembali, tapi 23 kabupaten/kota juga harus merevisi APBK-nya, terutama daerah penghasil migas seperti Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang yang setiap tahunnya menerima dana migas cukup besar dibanding daerah nonpenghasil.

Kasus ini, kata Sulaiman, harus menjadi pengalaman berharga bagi TAPA dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRA, untuk tidak lagi melakukan kesalahan dalam memprediksi sumber penerimaan daerahnya. Sulaiman Abda menambahkan, jika terjadi pengurangan jumlah penerimaan dari migas dan tambahan bagi hasil migas pada tahun berjalan, maka banyak program dan kegiatan pembangunan masyarakat yang mendesak yang telah disetujui dalam APBA atau APBK tak bisa dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan, seperti yang terjadi sekarang ini. “Oleh karenanya, target penerimaan yang dibuat hendaknya jangan terlalu overoptimis,” tukas Sulaiman Abda, politisi Partai Golkar.

Tetap prioritas
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, Mohd Ilyas, mengatakan pihaknya tetap berusaha maksimal agar dana beasiswa untuk 100.000 yatim di Aceh tahun ini bisa disalurkan, sebagaimana direncanakan semula. “Kami akan berusaha maksimal untuk ini, mengingat program ini sudah menjadi program prioritas Gubernur Aceh dan sudah tak boleh diganggu gugat,” kata Mohd Ilyas kepada Serambi tadi malam, menanggapi pernyataan kalangan DPRA yang mendesak TAPA segera melakukan revisi pos dana pendidikan yang terdapat di dalam APBA 2009 yang bersumber dari penerimaan dana tambahan bagi hasil migas Aceh tahun ini.

Mengingat penting dan mendesaknya realisasi beasiswa bagi 100.000 yatim piatu, fakir miskin, dan anak putus sekolah itu, Mohd Ilyas mengatakan dinasnya akan minta kepada TAPA dan Panggar DPRA agar mempertahankan dan memprioritaskan implementasi program tersebut untuk tahun ini. “Kalau tak bisa diambil dari dana migas, maka akan diambil dari pos dana otsus atau pos lain,” ujarnya. (her/dik)

PNS Pertanyakan Rapel Kenaikan Gaji

5 May 2009, 08:19 Pase Administrator
BIREUEN – Sejumlah PNS dilingkungan Pemkab Bireuen mempertanyakan kapan rapel kenaikan gaji jatah Januari hingga Maret untuk mereka akan dibayarkan. Padahal, tambahan kenaikan gaji untuk April sudah diterima beberapa waktu lalu bersamaan dengan pembayaran gaji.

“Kenaikan gaji sudah diumumkan sejak beberapa waktu lalu, di mana masing-masing PNS memperoleh kenaikan 15 persen dari gaji pokok. Namun kenaikan itu baru satu bulan yang kami terima yaitu jatah bulan April, sedangkan kenaikan untuk Januari sampai Maret belum dibayar,” kata seorang PNS di lingkungan Pemkab Bireuen kepada Serambi, Senin (4/5).

Ungkapan senada juga dilontarkan sejumlah PNS di beberapa dinas lain. Beberapa PNS kepada Serambi mengatakan, pada akhir Maret lalu bagian keuangan mengatakan, rapel kenaikan akan dibayar pada April sekaligus untuk jatah Januari hingga April. Tapi, nyatanya hanya dibayar satu bulan saja yaitu jatah April.

Sekretaris Dinas Keuangan dan Pengelolaan Asset Daerah Bireuen, Tarmidi kepada Serambi menegaskan, pembayaran rapel untuk PNS tergantung kesiapan administrasi di pemegang SKPD masing-masing unit kerja. “Kalau ada dinas yang pegawainya sudah menerima rapel berarti proses di dinas itu sudah selesai. Jadi, kalau ada PNS yang belum menerima rapel kenaikan gaji tolong ditanyakan kepada bendahara masing-masing,” ujarnya.

Dikatakan, khusus untuk April pembayaran tambahan gaji disatukan dalam pembayaran gaji bulan tersebut karena prosesnya dilakukan bagian keuangan Pemkab, sedangkan untuk bulan-bulan sebelumnya diusulkan oleh masing-masing pemegang SKPD. Terkait dengan hal ini, ia mengingatkan bendahara masing-masing SKPD agar tidak lalai karena menyangkut hak orang banyak.(yus)